Langsung ke konten utama

雨の中 (Ame no naka)


**


                Kutapakkan kakiku berjalan diatas genangan air hujan yang membasahi kota yang padat dan sangat sibuk ini. Bulan ini hujan sering turun membasahi kota Tokyo. Seperti biasanya aku akan berjalan menggunakan sepatu yang tinggi ini, memasukki kesibukan kota ini dan kembali berkutat dengan ide – ide gila dan mengagumkan.

                Namaku Shuzuku nami. Shuzuku adalah marga milik keluargaku yang sekarang diberikan kepadaku, aku tinggal sendiri di Tokyo meninggal seorang “janda” dua anak yang memilih tinggal didataran tinggi kota Kanto bersama adik laki – laki ku.

                Hari ini aku kembali pergi kesalah satu kantor swasta, untuk menyerahan beberapa informasi mengenai biodata lengkapku. Ya, aku akan mulai menulis lagi, dan memulai memberi judul lagi untuk sebuah novel, aku sedikit rindu akan tulisan namaku dipojok kanan sebuah novel. Aku ingin kembali melakukannya.

**
               Dengan langkah pasti dan ditemani seorang pegawai aku dengan tegas menapaki lorong kantor yang mengantarkanku kepada sebuah ruangan diujung lorong. Suasana ruangan begitu dingin, mengingat cuaca diluar juga sudah mulai turun hujan.

“Semuanya, perkenalkan ini adalah shuzuku nami dia akan bergabung bersama kita disini, dan akan bergabung ditim penulis ini. Semoga kalian bisa berkerja sama dengan baik.
Baiklah selanjutnya kuserahkan padamu.”

                Jelas pegawai wanita tersebut, aku pun menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis. Ini hari pertamaku, sungguh aku benar – benar gugup.

“Baiklah, seiring berjalannya waktu kuharap kalian bisa berkerja sama denganku.”

“Baik!”

                Kumulai hari pertamaku, untungnya ini tidak terlalu buruk untuk kesan pertamaku. Kuharap akan selalu seperti ini.

                Waktu bergulir cepat dengan menyisakan 15 bangku kosong dan tirai yang melayang ditiup angin musim dingin ini. Aku terduduk dengan sebuah layar computer yang masih menyala didepanku.
                Yah.
Disinilah aku sekarang, seorang wanita dengan impian menjadi penulis besar, dengan rambut pendek sebahu yang tergerai dan celana bahan panjang berwarna coklat muda dan sebuah baju berwarna merah tua dengan pita didepannya.
                Aku akan memulai ini semua.
**
                Sepulang dari kantor, aku sempatkan untuk pergi kesebuah taman dengan sebuah tempat berteduh yang sudah using yang berada ditengah – tengah danau yang besar. Dengan ditemani sekaleng bir dan tetesan bekas air hujan yang turun dari dahan pohon, aku pun berjalan menuju tempat itu.

“Mmm?”
                Aku sedikit terkejut melihat seorang laki – laki sedang duduk memeluk lututnya, dia tidak memilih duduk diatas tempat duduk dan malam memilih duduk dibawah. Dia tundukkan kepalanya dengan sebuah tas using yang masing terpasang menggantung dilengan kanannya.
               
                Sangat jarang ada orang yang mau sekedar duduk ditempat tua ini. Biasanya hanya orang – orang yang merasa sial seperti akulah yang akan memilih berdiam diri ditempat ini. Apakah dia sedang sial?

“Haaahh.
Apakah harimu buruk?”
                Tidak ada jawaban darinya.

“Yah. Kau tau terkadang hidup ini memang tak adil bagi segelintir orang. Kau tau aku merasa putus asa akan pekerjaanku sekarang.
Entahlah.”
                Masih tidak ada jawaban apa pun.
“Kau mau?”
                Aku menyodorkan segelas bir kepadanya.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Tapi akhirnya dia pun mengangkat kepalanya, lalu melihat kearahku, dan dengan tatapan ragu dia membawa bir yang aku berikan kepadanya.
‘’Arigatou”
                                “Arigatou”
Adalah kata yang berarti terima kasih dalam Bahasa jepang. Bila seseorang sampai rela merelakan 5 sampai 10 detiknya untuk mengucapkan kata tersebut, apakah sebenarnya hal yang kita lakukan sangat membantunya?
                                Entahlah
Tapi, syukurlah bila sekaleng bir ternyata bisa membuatmu lebih baik.
**
                Keesokan harinya aku kembali ketempat tua itu, kali ini laki – laki itu sudah berada lebih dulu dariku dia memegang sebuah buku dan mengarahkannya tepat didepan wajahnya dengan tangan yang sedang sibuk menari diatas sebuah kertas putih.

“Kau disini?”
                Lagi – lagi dia tidak menjawab.

“Baiklah.”

                Sekitar 30 menit aku berada disana dengan segudang keheningan dan tatapan yang penasaran tentang apa yang sedang dia gambar itu. Dan akhirnya aku memutuskan untuk pergi setelah bir ke-3 ku habis. Masih tanpa jawaban darinya aku kembali meningglkannya dengan sekaleng bir yang masih belum terbuka disampingnya.

                Tidak ada ucapan terima kasih darinya kali ini. Dan matanya masih terfokus dengan gambarannya itu.
**

                Tak lama semenjak aku sampai kerumah, hujan pun turun kembali dengan membawa harum aroma khas tanah yang terkena tetesannya. Aku duduk diatas sofa berwarna biru tua, sambil melihat keluar dari pintu kaca yang ada disamping sofa.

                Apakah kau akan selalu seperti itu?
Membisu?
                Jujur aku mulai pernasanan akan semua tentang dirimu.
                Hari ini aku memilih untuk tidak masuk kerja, dan memilih pergi ketaman itu lagi dengan membawa sekantong bir. Ku harap kali ini kau akan ada disana.

                Sesampainya disana.
Ternyata dia ada disana, dan masih berkutat dengan buku gambarnya itu. Dengan seragam sekolahnya yang masih menempel ditubuhnya dan sebuah tas yang disimpannya disampingnya.

“Hei!”
“Mmm?”
                Dia menjawabku?

“Tidak pergi sekolah?”
                Tanyaku, sambil membuka sekaleng bir yang ada dikantong yang kubawa tadi.

“Kau sendiri? Apakah kantormu libur?”
“Aku bolos hari ini.”
“Kau tidak bekerja dan diwaktu yang sepagi ini kau masih sempatnya untuk meneguk bir itu?”
“Bukankah saat itu kau juga meminum bir dariku?”
                Dia pun merogoh sesuatu didalam tasnya.

“Ini?”
                Mengeluarkan 2 kaleng bir
“Aku bukan peminum.”
                Aku tersenyum mendengarnya.
“Ya, aku tau kau masih anak sekolah. Tapi nanti kau juga akan menginginkannya.”
“Aku tidak berniat meminumnya, bukan karna aku sekarang adalah seorang anak sekolah.
Aku hanya membencinya.”

                Itu kalimat terakhir yang aku dengar darinya. Setelahnya hanya tinggal kesunyian dan sekantong bir menemani pagiku.

                Untuk keesokan harinya, dia kembali tidak datang ketaman itu, dan keesoan harinya pula, dan keesokan harinya lagi. Dan terus menerus sampai aku tak ingat kalimat apa yang pertama kali aku katakanan kepadanya.
               
                Itu sudah sekitar seminggu dia tidak pergi ketaman itu, dan sudah seminggu pula aku membolos kerja. Entahlah, tubuh ini sangat ingin pergi kesana, tapi apa daya hati ini masih merasa penasaran dengan seorang laki – laki itu. Dan kau pun memutuskan selalu menunggunya berhari – hari, berminggu – minggu, sampai tak sadar sudah 1 bulan aku membolos hanya karna anak laki – laki ini.

                Bodoh.

**
                Hari ini, hujan yang kudapat sebagai hadiah selamat pagi. Aku kembali ketaman itu, setelah rapi berpakaian dengan seragam kerjaku, aku hanya memakainya tapi hati ku tidak datang kepadanya.
               
                Kututup payungku, sesampainya disana. Kini dia ada disana! Dia tertidur dengan lengan yang dia lipat didada dan memangku sebelah kakinya, dan bersender ditiang penyangga tempat itu.
Aku duduk terdiam melihatnya lamat – lamat sambil sedikit memiringkan kepalaku kekiri.

“Kau kembali membolos.”
                Dia berucap dengan mata yang masih tertutup sempurna.

“Apa alasanmu kali ini?
Apa karna hujan turun sepagi ini?”
                Matanya mulai terbuka, tapi tatapannya masih tetap lurus.

“Bagaimana kalau alasannya adalah karena,        
                Aku merindukanmu?

Mataku tertunduk sayu, masih dengan posisi tidurku yang tak kurubah. Ini sudah jam 9 pagi, dan aku masih tidak melakukan apa – apa. Aku masih sibuk memikirkan hal bodoh yang baru saja aku katakan kemarin kepada seorang laki – laki berusia 18 tahun.

“Kau kembali membolos.”
                Dia berucap dengan mata yang masih tertutup sempurna.

“Apa alasanmu kali ini?
Apa karna hujan turun sepagi ini?”
                Matanya mulai terbuka, tapi tatapannya masih tetap lurus.

“Bagaimana kalau alasannya adalah karena,     
                Aku merindukanmu?”

“Merindukanku?
Bukankah hatimu terlalu mudah untuk merindukan seseorang sepertiku”

                Merindukannya?
Sungguh? Aku benar – benar mengatakannya. Apakah ini benar – benar nyata, aku menunggunya berminggu – minggu dan aku hanya diberi 10 menit untuk melihatnya?           
                Bodoh! Benar – benar bodoh!
**
                Hari ini aku putuskan untuk tidak pergi ketaman dan menunggunya. Aku memilih berkutat dengan sofa biru tuaku dan secangkir teh hijau.
Menurutmu bagaimana aku bisa sebodoh itu, mengatakan hal bodoh itu. Apa alasan yang bisa kupakai untuk menjawab pertanyaan itu?
                Apa karna aku menyukaimu?
Hah… Bahkan aku tak menyangka kalua aku bisa benar – benar jatuh semudah itu.
                Hari ini hujan tidak turun, matahari menyorotkan sinarnya kesegala penjuru kota Tokyo, mataku masih setengah terbuka dari 1o menit yang lalu. Aku masih meringkuk diatas ranjang dengan selimut tebal yang menutupi semua badanku.
                Hari ini aku tidak memilih membolos lagi, karna sudah tidak ada alasan lagi untukku membolos, tidak ada lagi minum bar dipagi hari, tidak ada lagi obrolan sepihak saat hujan turun, tidak ada lagi yang harus pergi ketaman untuk menunggu.
                Aku merasa kosong.
**

“Ini sudah 1 bulan semenjak kau tak masuk kerja, kau tidak mengirim surat, tidak ada kabar. Kau seperti menghilang entah kemana, nami-san. Kau yakin masih ingin melanjutkannya?”
                Seorang wanita paruh baya, yang menjabat sebagai manager kantor itu menjelaskan semua kesalahannku. Aku menyadarinya ini sudah cukup lama dan aku masih seperti ini.
                Mengerikan.

**
                Kulangkahkan kakiku keluar dari gerbang kantor dengan penuh rasa bersalah, aku salah karna mengabaikan tanggung jawab ini, aku salah karna tak bisa menemani bocah itu, aku salah karna aku tak bisa berubah menjadi seseorang yang lebih berguna dari ini.
                Bodoh!

“Ini sudah 1 bulan semenjak kau tak masuk kerja, kau tidak mengirim surat, tidak ada kabar. Kau seperti menghilang entah kemana, nami-san. Kau yakin masih ingin melanjutkannya?”

“Aku akan mencobanya, beri aku kesempatan untuk memikirkannya. Aku hanya perlu waktu”
“Baiklah, tapi aku minta setelah waktu istirahatmu itu, kuharap aku akan mulai bisa melihat karyamu itu.”
“Baiklah, aku mengerti”

                Apa yang harus kulakukan lagi, aku harus pergi kemana sekarang? Kembali ketempat tua itu dan menghampiri bocah itu? Membeli bir sebanyak – banyaknya dan pulang kerumah atau aku harus pergi ke jalan entah kemana dan menghabiskan semua uangku ini?
                Dan bodohnya aku memilih pergi ketempat tua itu lagi.
                Tetesan hujan mulai turun saat aku tiba disana, tidak ada siapa pun ditempat itu hanya ada sebuah buku sketsa lengkap dengan sebuah pensil dan penghapus yang ditaruh diatasnya.

Kuambil buku sketsa itu kulihat dalamnya ada beberapa gambar memenuhi seperempat isi buku itu, aku buka gambar terakhir dan terlihat gambar seorang perempuan yang sedang terbaring diranjang rumah sakit dengan tirai yang bergerak tertiup angin dan sebuah vas bunga berisi bunga matahari berada disamping kanannya.

                Aku tersenyum melihatnya, dan mencoba menggambar sesuatu disamping gambar itu.
Ternyata kita sama – sama tersakiti bukan?
**
                Setelah menyelesaikan gambaran itu, aku menaruhnya kembali ditempat semula, dan memulai sesi bersantaiku, kali ini aku tidak membawa bir. Aku hanya menikmati rintik hujan dengan memangku kaki dan menunggu seseorang mengambil barangnya. Tak lama, sang pemilik buku itu pun datang dengan tergesa – gesa, sepertinya dia menyadari sesuatu yang berharganya kini tertinggal.

“Kau meninggalkannya.”
                Kusodorkan buku sketsa itu padanya, dengan tatapan yang teduh dia menatapku penuh kekosongan.

“Aku tau ini terasa kosong bukan? Bahkan aku tau disini pasti terasa sakit.”
                Ucapku sembari menyentuh dada kanannya, terlihat sekarang dia mulai membulatkan matanya.

“Sekarang kau berbicara seolah kau benar – benar orang dewasa.”
                Melepaskan sentuhanku dari dadanya.

“Bukankah kita adalah orang dewasa? Hanya sesuatu didalam sinilah yang membuat kita terkadang terlihat seperti anak - anak.”
                Ucapku lagi meyakinkan, sambil menunjuk dadanya dan tak henti menatap matanya dalam.
Aku tau kau memiliki sesuatu yang tak bisa kau ceritakan, aku tau wanita itu pasti sangat berharga untukmu. Dan aku
tak mungkin menggantikannya.

                Dia tersenyum mendengar ucapanku.
“Berhenti membicarakan omong kosong.”
                Dia mengambil buku sketsanya, lalu pergi dari tempat itu.
“Dan mulailah dengan pekerjaanmu.”
                Lanjutnya sembari berjalan meninggalkanku yang masih berdiri mematung ditempat itu.
**
                “Dan mulailah dengan pekerjaanmu.”
                Kata – katanya masih terngiang diingatanku seperti memanggilku untuk segera menulis sesuatu, tapi apa yang harus aku tulis?! Kisah apa yang akan membuat semua orang selalu mengingatnya?

                Semua pikiran ini hanya membuatku semakin terpuruk dengan semua beban – beban ini, aku menginginkan sebuah kisah tapi aku tidak tau harus memulainya dari mana. Dan akhirnya aku hanya kembali terdiam dengan layar leptopku yang masih menyala didepanku, sambil memeluk lutut dan kepala yang kutundukkan menghadap kekanan pintu kacaku.
                Ibu, sepertinya kau merindukanmu.
**
                Pagi ini, aku berniat mengunjungi ibuku yang berada didaerah kanto diJepang. Entahlah, saat ini aku merasa sangat merindukannya.
Perjalannya cukup memakan waktu, aku tiba disana setelah sekitar 4 jam perjalanan menggunakan kereta. Disana aku turun disebuah station tua dengan sebuah tas cukup besar yang kugendong dan sebuah mp3 yang kugenggang dengan heatset yang tertancap ditelingaku.

                Tak lama datang sebuah kereta menghampiri station tersebut.
Turunlah seorang laki – laki dengan seragam sekolah dengan tas usangnya dan sebuah syal yang melingkar dilehernya.
               
                Didepan sebuah station tua, kami berhadapan, mata kami pun bertemu. Mengapa kau ada disni? Pertanyaan itu pun menyeruak keluar dipikiranku yang mulai membeku karna melihatnya yang kini mematung dihadapanku.

Kau disini?”

                Tak ada jawaban yang berarti darinya, tanpa kata – kata ia pun mulai berjalan melewatiku begitu saja setelah puas menatapku kosong.
“Untuk apa kau kemari?”
“Bukan urusanmu.”
“Aku pergi untuk menemui ibuku, dan kau ada disini. Kau juga mau menemui ibumu?”
                Langkahnya seketika berhenti, lalu menolehkan pandangannya kepadaku yang masih heran karna pertanyaanku yang tak dijawabnya.

“Kau mau kemana?”
                Tanyaku lagi.

“Pergilah, urus saja urusanmu.”
                Jawabnya sambil berjalan meninggalkanku.
Laki – laki misterius dengan segudang masa lalu yang juga misterius. Kisah yang bagus untuk sebuah novel remaja.
**
                Setelah 15 menit berjalan aku sampai dirumah tua itu, baunya masih sama dengan terakhir kali aku pergi dari sini, ibu mempunyai sebuah usaha penginapan tua. Memang tak ramai seperti dulu, tapi masih ada saja 1 atau 2 orang yang datang untuk menginap kemari.

“Aku pulang, ibu!”
                Teriakku menyeru diantara lorong kosong penginapan yang sekaligus rumahku itu. Tak lama, seorang wanita paruh baya memakai yukata tersenyum sambil berlari – lari kecil menghampiriku.

“Nami! Kau pulang?!
Aku merindukanmu.”
                Ucapnya terisak, air matanya sedikit tertetes melihatku pulang jelas saja dia pasti merindukanku. Aku sudah 10 bulan di Tokyo dan baru kali ini aku pulang untuk menemuinya dan adik laki – lakiku.
                Aku juga sangat merindukanmu bu.
“Bagaimana pekerjaanmu di Tokyo?”
“Baik bu, semua berjalan dengan lancar disana.”
“Syukurlah. Dia pasti bangga melihatmu sekarang.”
                Menoleh kesudut kanan ruangan, disana terpampang foto seorang laki – laki paruh baya yang sedang tersenyum ramah. Ya, dia ayahku, dia meninggalkan kami dan sebuah penginapan tua ini untuk tabungan masa depan kami.

“Bagaimana dengan penginapan, apakah jadi lebih baik? Dan bagaimana dengan nagi?”
“Begitulah, masih terlihat sepi. Tapi tidak usah khawatir tempat ini pasti bisa bertahan. Nagi, dia sedang pergi berlibur dengan temannya sepertinya kali ini kau tidak akan bisa bertemu dengannya.”
“Baiklah.”
                Kami pun tersenyum bersama kemudian mulai masuk kedalam.

Sekarang ini kau dan aku sedang berada diwilayah yang sama, meninggalkan taman tua itu, meningglakan setiap rintik – rintik hujan yang akan turun membasahi kota Tokyo itu. Kita meninggalkan sepenggal cerita yang masih belum jelas alurnya. Dan membuat semua orang bertanya – tanya akan kejadian apa yang akan datang selanjutnya.
Menurutmu?
**
Langit mulai mengubah warnanya menjadi orange, burung – burung mulai berterbangan kembali kesarangnya. Matahari mulai tenggelam kebarat menyembunyikan dirinya.
Hari ini terasa bergulir sangat cepat.
Mungkinkah ini karna aku merindukanmu?

Entahlah, mungkin ini karna perasaanku yang sedang bingung. Aku disini masih terduduk diatap penginapan, memakai yukata dengan seekor kucing berwarna putih dengan corak coklat menemaniku yang sedang membuat lamunan menyenangkan tentangmu.

“Nami! Bisakah kau menggantikan ibu menjaga didepan pintu? Ibu ingin menyelesaikan masakan ibu dulu.”
                Pekik ibu dari bawah.
“Baiklah bu.”
                Langgahku santai menuruni tangga dari atap penginapan menuju ruang tunggu penginapan yang ada dilantai utama. Tak lama aku duduk menunggu pelanggan datang, seseorang akhirnya datang berkunjung.

“Itsureshimas.”
                Kau bercanda?

“Kau disini?”
“Eh.”
                Matanya yang teduh kini mulai membulat sempurna, terkejut melihatku berada disini.
“Ah, rupanya ada yang berkunjung kemari? Nami, mengapa kau diam saja?!
Kau mau menginap atau hanya berkunjung untuk makan mm?”
                Tanya ibu kepada laki – laki itu, aku masih terdiam melihatnya. Hari ini untuk kedua kalinya aku mendapatkan hadiah yang sangat istimewa mungkinkah sebenarnya ini adalah hari ulang tahunku?

“Nami!”
“I-iya bu?”
“Kau ini! Antar dia kekamarnya. Ibu akan membuatkan teh hangat untuknya.”
“Iya bu. Ayo aku akan mengantarmu.”
                Dia mengangguk tanda setuju.
Kami menaiki tangga utama dengan jumlah anak tangga yang cukup banyak, selama perjalanan tak ada obrolan yang kami bicarakan hanya sebuah kesunyian yang menyeruak.

“Ini kamarmu.”
                Ucapku sembari menundukkan kepalaku.
“Mmm, terima kasih.”
                Jawabnya dengan kedua tangan yang masih bersembunyi dibalik saku celananya. Mataku tak henti – hentinya mencuri pandang untuk melihatnya.
 Memalukan.

“Ada apa dengan pandanganmu itu?”
“Eh. T-tidak”

“Hiasan rambut yang bagus.”
                Ucapnya sembari masuk kedalam kamarnya, meninggalkanmu didepan pintu kamarnya yang masih mematungkan diri. Bukankah dengan kata lain, aku terlihat cantik memakainya?
“A-arigatou.”
                Jawabku lembut setelah tak lama dia masuk kekamarnya.

“Hiasan rambut yang bagus.”
Aku tak menyangka dia akan mengatakan itu. Mengapa jantungku sedari tadi terasa begitu menggebu – gebu? Apakah aku sakit?
Tenanglah nami!
**
                Siang ini aku memilih untuk pergi kesalah satu tempat dimana aku dan ayah sering bermain disana. Bukit yang berada dibelakang penginapan merupakan kesekian tempat yang mempunyai kenangan indah selain taman itu.
                Kupilih sebuah pohon besar yang berada didalam bukit itu, lalu duduk menyenderkan kepalaku padanya. Memulai memutar lagu dalam mp3 ku dan mendengarkannya menggunakan heatset yang kubawa, sesekali senadandungku keluar mengikuti lantunan nada yang kudengarkan ini.

痛いよ。君は何処なの?        
私はまだここでずっと             
あの日と同じ空を待ってるの ?
               
Begitulah sepenggal bait yang ikut kusenandungkan bersama lagu itu, sembari memejamkan mata.
Hal ini menyakitkan. Seperti saat ini kau di mana?
Aku telah di sini.
Apakah kau juga menunggu langit yang sama hari itu?
                Suara seseorang dari balik pohon dibelakangku.
“Kau?!”
“Jangan berbalik!”
                Kuhentikan niatku untuk melihatnya.
“Kau tau lagunya?”
“Lagu yang sama persis seperti yang dia sukai.
Bagaimana aku bisa lupa itu.”
                Dia? Siapa?
Tak lama setelah dia mengatakan hal itu tangannya yang berada disebelah tanganku seperti terangkat dan mencoba membasuh sesuatu. Dia menangis? Tapi untuk siapa? Mengapa?

“Lagu yang bagus, pantas bila dia menyukainya bukan.”
                Ucapku mencoba masuk dalam ceritanya.
Tak ada jawaban darinya.

“Seperti hujan tak akan turun hari ini.”
                Ucapku lagi sembari melihat kearah langit yang cerah, lalu melepas heatset ku dan menaruhnya disamping mp3 ku.
Cukup lama keheningan diantara kita menyeruak, dan hanya hembusan angin dan suara khas pedalam bukit saja yang terasa.

“Kau salah.”
                Ucapnya kemudian memecah kesunyian sembari menaruh telapak tangannya didepan wajahnya. Mencoba menunggu tetesan hujan yang akan turun kebawah. Dia benar, seketika cuaca berubah derastis langit mulai mendung dan tetesan air hujan mulai turun.
               
                Dia pun beranjak dari tempat duduknya kemudian melepas jaket yang dikenakannya, lalu menyodorkannya kepadaku. Aku ikut berdiri, lalu dia memasangkannya kepundakku.
“Pulanglah.”
“Kau tak ikut pulang denganku?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karna…”
                Kunaikan kedua alis mataku, penasaran.
“Kenapa?”

“Karna.
Aku takut akan jatuh semakin dalam.”
                Mengapa dia takut untuk jatuh, bila aku saja sudah sedari awal jatuh kepadanya. Ini mengerikan karna aku yang sekarang telah terjatuh, ini menyedihkan karna nyatanya dia masih tetap diam dan tidak berlari bersamaku.
                Sungguh semua tentangmu membuatku penasaran.
**
                Malam ini kuputuskan untu berkutat dengan sebuah buku dan pena hitamku dengan penerangan sebuah lentera kuno yang kuambil dari gudang penginapan untuk dipakai sebagai penerang.

                Kuputuskan untuk menulis segala tentangmu dari mulai pertama kali kita bertemu sampai saat ini, saat perasaanmu yang masih ragu karna takut terjatuh semakin dalam. Aku akan menulisnya, aku tak berniat untuk menjadikannya novel karna sungguh aku tak tau apa yang akan terjadi dengan kita selanjutnya.
                Jadi, bisakah kau mulai menulis alur yang indah untuk ceritaku ini?
**
“Nami!”
                Pekik ibu diselah – selah suasana pagi yang menyapa dihari yang cerah ini. Kali ini kau memutuskan untuk membantunya melayani penginapan.
                “Hari ini penginapan sedang ramai, adikmu sedang tidak ada sekarang jadi kau harus membantu sekarang.”
                Begitu ujarnya semalam setelah aku membereskan sebagian tulisanku.

“Iya bu.”
“Kau bawalah makanan ini keruang makan. Mereka pasti sudah menunggu disana.”
“Baiklah.”

                Kubawa setumpuk rak makanan ditanganku, dari dapur yang berapa dilamntai utama kubawa menaiki tangga menuju ruang makan dilantai dua.
“Aaaaaa!”
                Pekikku saat tak sengaja rak itu hamper jatuh, untunglah seeorang dari belakang menahannya.
“Seharusnya kau lebih berhati – hati.
Apakah seperti ini cara kerja pelayan disini?”
                Ucap laki – laki itu sembari memegang rak makanan dari belakang tubuhku, ini benar – benar membuatku terkejut bukan karna dia menolongku tapi posisinya yang memegang rak makanan dari belakang seperti posisi orang yang sedang memelukku dari belakang.

“Mengapa kau diam saja?”
                Tanyanya sembari memiringkan kepalanya kekanan mencoba melihatku, betapa terkejutnya aku ternyata laki – laki yang menolongku adalah bocah laki – laki itu!
“Eh.
M-maaf.”
                Jawabku malu, dan langsung menarik diri dari posisi tadi.
“Cepat bawa itu. Yang lain pasti sudah lapar.”
                Jawabnya sembari berjalan duluan didepanku.
**
                Kutaruh setiap hidangan makanan disetiap meja makan yang sudah disediakan, lengkap dengan alat – alat makan dan tisu. Disana mataku tak henti mencari keberadaannya yang seakan tenggelam diantara banyaknya punggung – punggung dan gelak tawa pada pengunjung penginapan. Dan…
                Ketemu!
Itu dia, dia terduduk disudut ruangan dengan meja penuh makanan. Tapi, dia duduk sendiri? Mengapa pengunjung yang lain tidak ada yang duduk disebelahnya? Dengan langkah sedikit ragu aku hampiri dia dengan satu rak makanan yang masih setia kugenggam.
“Kau makan sendiri?”
“Mmm…”
                Jawabnya meng’iya’kan dengan mulut yang penuh dengan makanan dan jari memegang sumpit yang sedang sibuk memilih makanan.
“Mmm, mengapa tak ada pengunjung lain yang duduk bersamamu disini ya?”
                Ucapku bingung, sambil melihat kesekitar pengunjung yang asyik bersenda gurau.
“Baiklah, selesaikan makananmu. Aku akan kembali bekerja.”
                Ucapku lagi, sembari tersenyum padanya aku berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Sampai terasa tangannya pun menarik pergelangan tanganku dan mendudukanku disampingnya dengan posisi tangan yang masih ia genggam.
“Eh…”
“Diam dan temani aku habiskan makanan ini.”
                Tidak kumohon jangan mulai lagi.
Jantungku mengapa selalu berdetak seperti ini setiap aku bersamamu?!

“Mengapa aku harus menemanimu?”
“Anggap saja ini salah satu pelayanan dari penginapan ini.”
“T-tapii---“
“Bantu aku makan, akan kubantu pekerjaanmu nanti.”
                Jawabnya tegas sembari menatapku lamat.
“Ba-baiklah.”
                Dia mulai melepaskan genggamannya, aku pun mulai mengambil salah satu pasang sumpit yang ada didepanku lalu memakan makanan yang sama dengannya. Ini terkesan romantic tapi aku merasa gugup sekali sekarang.
**
                Selesai makan bersamanya, aku pun langsung membereskan peralatannya dan membawanya kedapur, dia mengikutiku dari belakang sembari membawa beberapa tumpuk rak makanan.

“Biar aku yang menyucinya.”
                Ucapnya saat aku hendak mencuci piring kotor.
“Eh…
Apa tidak apa – apa?”
“Kau sudah membantuku tadi, sekarang aku akan membantumu.”
“Terima kasih.”
                Tidak ada jawaban darinya, dia langsung focus dengan semua piring – piring kotor itu.
“Mau sampai kapan kau akan menginap disini?”
“Entahhlah.”
“Sebenarnya apa yang sedang kau cari disini?”
“Entahlah.”
“Mengapa jawabanmu hanya “entahlah”, seperti tidak ada jawaban lain saja.”
“Karna aku bingung harus bagaimana saat ini!”
                Nadanya sedikit naik disusul dengan berhentinya gerak tangannya. Suasana dapur yang lengang karna hanya ada aku dan dia didalam sana menjadi terasa canggung karna ucapannya tadi. Apakah aku salah bertanya?
“Ma---“
                Ucapanku terpotong, karna ucapannya yang langsung keluar begitu saja.

“Aku bingung harus melakukan apa?! Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, aku tidak tau apa yang aku lakukan disini aku tidak tau apa sebenarnya yang sedang aku cari.
Dan aku tidak tau mengapa saat ini aku seperti ini. Sungguh aku lelah dengan semua ini! Lelah dengan semua air mata yang jatuh sia - sia seperti ini!
Dan ini semakin memuakkan karna sampai detik ini aku masih tidak bisa menjawab mengapa aku begini.”
                Dia tertunduk, suaranya berubah agak serak. Dan sepertinya dia mulai menangis saat ini, tapi untuk apa? Aku bahkan tak tau beban sebesar apa yang sedang dia fikirkan saat ini. Sedangkan aku selalu bertanya hal – hal yang membuat bebannya bertambah.
                Sungguh maafkan aku.
“Maaf.”
                Ucapku singkat karna jujur aku tak tau lagi harus bagaimana. Aku mendekatinya dan kucoba menyentuh punggungnya untuk memberi kehangatan.

“Tetap disitu!”
                Larangnya, ketika aku hendak mendekatinya. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dari pandanganku lalu tangannya terlihat naik mencoba menghapus kepedihan yang bahkan aku tak tau sebabnya. Sebegitu sakitkah itu? Sebegitu takutnyakah kau kalau aku melihat kau disituasi seperti ini sampai kau membelakangiku?

“Teruskanlah, maaf membuat pekerjaanmu berantakan.”

                Ucapnya lirik, kemudian meninggalkanku keluar dari dapur.
Maafkan aku masih tidak bisa mengerti kesedihanmu, maafkan aku bila aku tak sadar selama ini aku terlalu egois karna selalu ingin tau tentang suatu hal yang mati – matian ingin kau lupakan. Aku hanya ingin membantumu lepas dari hal itu, tapi apa daya caraku membantumu ini ternyata hanya akan menyakitimu saja.
                Maaf.
**
                Kuhadapkan diriku didepan sebuah pintu kayu salah satu kamar penginapan. Ya, ini kamarnya.
Entahlah apa yang aku lakukan disini, tapi hatiku masih merasa bersalah tentang hal tadi.

“Aku tau kau pasti didalam.”
                Tidak ada jawaban.
“Maafkan aku bila aku terlalu banyak bertanya akan hal yang kau benci. Aku benar – benar tidak tau. Aku hanya ingin mengetahui masalahmu dan ingin membantu, aku tidak tau bahwa semuanya hanya akan menyakitimu seperti ini.”
                Sebuah air mata mulai jatuh membasahi pipiku.

“Aku tau aku salah, jadi bisakah kau keluar dan memaafkanku.”
                Suaraku berubah lirih.
Masih tidak ada jawaban apa – apa darinya.

“Aku mohon.”
                Tangisanku mulai menuntut, kini air mataku jadi tak bisa dibendung. Mengapa aku menjadi sangat sedih sekarang seolah aku bisa merasakan bagaimana rasanya diposisi saat ini. Tanganku mengetuk pintu itu mencoba memohon kepada pemilik kamar agar keluar dan memaafkan keegoisanku.

                Tak lama pintunya pun terbuka, seorang laki – laki berdiri tepat didepaku tak sempat aku melihat wajahnya tangannya langsung merangkulku kedalam pelukannya.

“Maafkan aku.”
                Ucapku diselah tangisanku, dia masih terdiam dibalik tengkukku.

“Maafkan aku karna membebanimu dengan semua pertanyaan itu. Aku sungguh menyesal.”
                Ucapku lagi penuh penyesalan. Dan masih tak ada jawaban darinya dia masih terdiam disana. Baiklah bila kau tak mau aku melihatmu menangis, maka menangislah dalam pelukan ini. Karna sungguh hanya ini yang bisa kuberikan.

                Rintih hujan membasahi setiap genting penginapan tua ini, membasuh bekas kehangatan matahari yang masih melekat. Aku masih terduduk memeluk lututku disamping sebuah jendela besar disudut penginapan memandangi setiap butiran yang akan jatuh tepat dihadapanku. Memikirkan kejadian kemarin yang masih terasa kehangatannya didalam tubuh ini, aku tak menyangka kau akan melakukan itu “memelukku” ironis mendengarnya kau yang sedang bersedih dipelukanku sedangkan aku malah merasa bahagia karna kau memelukku.
                Hari ini hujan. Apakah ada tempat selain taman tua itu untuk kita berbagi kesunyian kembali?
Entahlah. Kini aku mempertanyakannya.
Terima kasih untuk alur yang sekarang mulai terlihat jelas, untuk selanjutnya mari kita tulis bersama – sama alur yang lebih indah untuk cerita ini.
**
                Secangkir coklat panas datang tepat dihadapanku yang sukses membuatku terkejut.
“Mmm?”
                Gumamku melirih kearah orang yang memberikannya.
“A-arigatou.”
                Jawabnya dengan kepala yang tertunduk malu melihatku. Semburan warna merah mulai merambat dari pipi putihnya, dilanjut dengan semburan yang sama dari pipiku. Memalukkan!

“Cih.
Memalukkan.”
                Lanjutnya sembari menutupi wajahnya yang sudah semakin merah dengan lengan kanannya. Kujawab dengan sebuah anggukan lembut sembari berkata.

“Senang bisa membantumu, walau menurutku itu sedikit tiba – tiba.”
“Tidak. Sungguh itu membantu.”
                Jawabnya masih dengann wajah yang tertutup.

“Habiskan coklat panasmu. Aku akan pergi sekarang.”
“Kau mau kemana? Kau akan kembali keTokyo?”
                Tanyaku antusias.
“Mmm. Mungkin ini saatnya menemuinnya.”
                Jawabnya mulai menurunkan tangannya, kemudian menatapku lamat.

                Deg!
Dia akan menemuinya?
Sungguh?! Tetapi mengapa aku tak merasa senang?! Mengapa ini rasanya begitu sesak?! Sadarlah nami! Bukankah kau yang menginginkannya membagi bebannya? Dia sudah membagi bebannya sekarang. Dan bukankah kau juga yan mau bila dia segera menyelesaikan semua masalahnya itu?! Tapi mengapa kau malah merasa tidak bahagia saat dia akan mulai bergerak untuk melesaikan semuanya.

“Kau akan berangkat kapan?”
“Hari ini.”
“Tapi sekarang sedang turun hujan!”
                Ucapku mulai meninggikan nada bicaraku.

“Bukankah kita sudah biasa terkena tetesan hujan seperti ini diTokyo.”
                Jawabnya mengingatkan kenangan kami saat hujan di Tokyo. Sontak aku membulatkan kedua mataku dan sebuah tetesan air mata keluar dari mataku, sungguh aku masih tak sanggup untuk sebuah perpisahan yang keduan kalinya.

“Mengapa kau menangis? Bukankah kau seorang, orang dewasa?
Bukankah orang dewasa seharusnya pandai menyembunyikan air matanya?”’
                Lanjutnya sembari melihat aku yang sedang meneteskan air mata.
“A-apakah kau akan kembali?”
“Entahlah.
Mungkin aku akan kembali dan akan membawa sebuah kisah menyenangkan karna aku telah bisa menyelesaikan masalah terbesar dalam hidupku dan akan sering memelukmu, dan mungkin saja aku tidak akan kembali menghilang seperti tertelan ombak pantai yang entah kemana akan membawaku semakin jauh dan mungkin lenyap dari pandanganmu.
Bila itu nanti yang akan terjadi, apakah air mata itu akan tetap mengalir sampai waktunya kering nanti menungguku kembali? Atau malah akan melupakan semua ini, menganggap sebuah pertemuan singkatmu ini denganku seperti mimpi tadi malam yang mana kau terbangun dengan hanya setetes air mata yang akan jatuh bukan beribu air mata penyesalan karna kehilanganku.”
                Ucapnya penuh arti dengan mata yang tak lepas menatapku dalam.

“Bahkan setelah apa yang akan terjadi nantinya, apakah seorang sepertiku ini pantas mendapatkan air mata penyesalan darimu?”
                Sungguh aku pasti akan menyesal! Air mataku pasti akan jatuh beribu – ribu untukmu! Semua akan terjadi bila kau akan benar – benar pergi!

                Dia tersenyum setelah mengurai kata – kata puitisnya itu, yang membuat mataku semakin basah.
“Kata – kata yang bagus bukan? Untuk sebuah kata perpisahan, kali ini aku tidak akan menghilang begitu saja seperti waktu itu. Aku tidak akan membuatmu menungguku lagi seperti saat itu.”
                Tunggu! Waktu itu?! Dia tau aku menunggunya ditaman itu?!

“Baiklah sudah cukup semua air matanya, kau bisa menyimpannya saat aku sudah benar – benar pergi nanti.”
                Tidak!
“Jaga dirimu.”
                Menepuk lengan atasku.

                Tidak kumohon!
Jangan hari ini! Jangan sekarang!

                Sebuah senyuman menjadi kado perpisahan terakhirnya, selebihnya aku hanya melihat sebuah punggung laki – laki yang semakin lama semakin menjauh dariku. Aku tidak bisa mengejarnya kini dia semakin jauh dan menyisakan bayangan yang semakin lama semakin hilang. Dia benar lama kelamaan semuanya akan terhapus, seperti setiap jejaknya yang semakin terhapus terkena air hujan.
**
                Hari terus bergulir menyisakan sebuah penyelasan yang mendalam, aku menyesal karna menyuruhnya menyelesaikan masalahnya dan berkata semuanya akan baik – baik saja. Tidak! Semua tidak akan baik – baik saja, ini akan bertambah buruk karna kau sekarang tak ada disini, tidak ada lagi yana akan menolongku untuk membawa rak makanan, tidak ada lagi yang mengajakku makan bersama, tidak ada lagi yang akan membawakanku coklat, tidak ada lagi seorang laki – laki yang akan menggetarkan jantungku disini.
                Aku tidak tau siapa namamu, dimana rumahmu, dimana kau sekolah, apa masalahmu yang membuatmu sangat sial dipagi setelah hujan turun waktu itu, dan apa sebenarnya alasan kau tidak masuk sekolah setiap harinya dan memilih kabur kemari. Aku tidak tahu semua hal itu, tapi yang kutahu mungkin saat ini aku mulai menyukaimu.
                Aku mulai menyukaimu saat kau akan mulai menghilang.
                Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Menyisakan sebuh kenangan dan penyesalan yang mendalam ditempat ini. Hari ini hujan dikanto bagaimana diTokyo? Mungkin sekarang sudah musim panas. Bagaimana alur ceritamu dengannya disana? Apakah menjadi semakin baik? Aku disini malah menjadi semakin buruk karna sebuah cerita yang kubuat, entah pergi kemana salah satu pemeran utamanya dan malah meninggalakanku dengan sebuah alur yang kembali tergantung.

“Nami…”
                Suara ibu yang khas memenuhi kamarku, aku yang masih terduduk dilantai dengan posisi kepala yang tergeletak diatas meja dengan sampah beberapa bir dan remasan kertas yang tergeletak dan sebuah buku dengan tulisan yang masih tak jelas menemaniku dikamar yang dingin dan sunyi ini.
“Ini sudah 3 bulan semenjak laki – laki itu pergi, dan kau selalu seperti ini. Ayolah lihat dirimu kau begitu mengerikan sekarang ini.”
                Aku masih tetap tak menggubrisnya dan masih asyik dengan tatapan kosongku memandang objek yang entah apa itu.

                Ibu menghembuskan nafas berat, sembari berkata lagi.
“Ibu harap kau akan segera berubah, ibu akan kembali berjaga didepan. Pastikan kau memakan ini ya.”
                Ujar ibu khawatir kemudian menaruh senampan makanan lengkap dengan buah – buahan untuk makanan penutupnya. Dia pun berbalik dan meninggalkan kamarku.

“Ibu…”
                Ucapku yang sukses menahan ibu keluar dari kamarku.
“Mmm?”
“Bagaimana perasaan ibu saat kehilangan ayah?”
                Sebuah pertanyaan bodoh keluar dari mulutku, sontak keheningan pun muncul diantara kami.

“Bagaimana rasanya bu?
Apakah sesedih ini? Apakah rasanya seakan kau tak bisa bernafas disetiap harinya?”
                Lanjutku dengan nada datar, masih tidak ada jawaban dari ibu. Tak lama sebuah sentuhan ibu terasa memelukku dari belakang.
“Kumohon lakukanlah apa pun yang kau mau, lakukanlah semua hal yang bisa membuatmu melupakannya. Berhentilah melukai dirimu sendiri…”
                Sebuah tetesan demi tetesan air mata ini semakin membasahi kami. Hujan semakin deras menutup hari dengan banyaknya air mata, maafkan aku ibu karna terlalu banyak membuat air matamu itu menetes, maafkan aku karna menangis didepanmu seperti gadis bodoh. Karna sungguh ini semua perpisahan ini membuatku sesak.
**
Hari ini langit kembali terlihat mendung dengan angina yang sedikit berhembus, aku?
Jangan tanya aku sedang apa saat ini, posisiku masih tak jauh berbeda dengan kemarin. Kali inii aku memilih merebahkan tubuhku diatas sebuah kasur yang sudah lapuk.
“Aaaaa…
Apa yang harus aku lakukan sekarang?”
                Gumamku lirih.
Kuhembuskan nafasku beratku untuk pertama kalinya dan bergumam kembali sembari menaikan tanganku keudara mencoba menggapai sesuatu tapi entah apa itu.
“Sial.”
Ucapku sembari menjatuhkan tanganku keatas kasur.
“Aku merindukanmu.”
                Lanjutku lalu berganti posisi menghadap kesamping kiriku, melihat keatas meja dengan sebuah buku yang terbuka.
Mengapa aku mengeluh merindukanmu tapi aku tidak melakukan apa – apa. Aku malah memilih terjebak diruangan minimalis ini dengan semua penyesalan. Ini membuatku gila!
Aku tau kau ada diTokyo, aku tau tempat yang sering kau kunjungi pasti taman itu. Dan aku tau persis bagaimana wajahmu. Jadi mengapa aku tak menyusulmu dan pergi mencarimu?!

“Iya!
Mengapa aku tak mencarimu?!”
                Teriakku senbari bangkit dari posisi tidurku. Ini ide yang sangat tepat, mengapa aku harus menunggumu dan tersiksa dengan semua kerinduan ini sedangkan aku bisa mencarimu keTokyo!
Sungguh maafkan aku karna tak bisa menahan semua rindu ini. Banyak orang mengatakan waktu akan menyembuhkan luka dan rindu yang kau rasakan saat sebuah penantian lama kelamaan akan memudar, tapi persetan dengan semua itu! Aku merindukanmu dan bagaimana pun aku akan tetap mencarimu walau pun entah dimana kau berada sekarang, entah dengan siapa sekarang kau sedang berbicara aku akan tetap mencarimu.
Karna aku menyukaimu!

4 jam perjalanan menggunakan kereta akhirnya aku sampai diTokyo dengan hati penuh harap. Langkahku kaku saat kakiku mulai berjalan keluar dari station, sekarang aku sudah berada disatu eilayah yang sama denganmu tapi dimana kau berada sekarang?
Akhirnya aku coba untuk pergi ketaman tua itu, tapi kau taka da disana. Aku coba mencarimu disetiap ujung jalan. Hey lihatlah aku, aku sudah seperti orang bodoh mencarimu dimana – mana seperti ibu yang kehilangan anaknya entah kemana aku harus pergi kau taka da ditaman itu dan tidak ada disetiap jalan yang aku datangi.

                Sekitar 3 jam sudah aku mencarimu seperti orang gila yang kebingungan tak tahu arah pulang entah kemana harus melangkah. Aku kembali terpuruk, hatiku meronta! Seperti hendak berteriak

“Hey bodoh! Kau salah karna menyia – nyiakan waktumu! Kau salah karna kau menyukai seorang bocah sepertinya!”

Pencarian hari itu aku akhiri sampai disitu, karna otak dan pikiranku sudah buntu hendak mencarimu kemana lagi. Aku kembali pulang kerumahku dan kembali terdiam dan berkutat dengan bir – bir yang mengelilingiku.
**
                Keesokan harinya aku kembali pergi mencarimu masih dengan tanpa arah dan tujuan aku tapaki setiap jalan yang mungkin kau lalui. Otakku mencoba menghentikan semua ini, tapi hatiku tetapi percaya akan sebuah kata “keajaiban” yang akan timbul bila aku terus menncarimu begitu tutur hatiku.
                Berhari – hari aku tetap mencarimu, berminggu – minggu sampai kaki ini mulai lelah dan meronta untuk mengakhiri semua ini. Ini sudah 3 minggu aku mencarimu tak henti – hentinya, kini aku berada dipersimpangan jalan terduduk dengan memeluk lututku sembari menundukan kepalaku.

“Dimana lagi aku harus mencarimu?”
                Ucapku lirih sembari menahan tangisanku.
“Ah…
Mengapa ini terasa begitu menyakitkan.”
                Ucapku lagi yang semakin mengencangkan pelukanku pada lututku dan melihat kesekeliling.
“Hah… Baiklah.
Aku pasti bisa melakukan ini, aku pasti akan menemukanmu kemana pun kau pergi. Aku akan menemukanmu.”
                Semangatku kembali memburu, kuusap tetesan air mata yang akan jatuh diujung mataku lalu mencoba bangkit dari posisiku. Aku yakin, aku pasti akan menemukanmu!

“Karna aku percaya sebuah keajaiban. Jadi… kau pasti ada di…”
                Gumamku sembari menutup sebelah mataku dan mengarahkan telunjuk kearah ujung jalan dari persimpangan itu, dengan kepala yang sedikit aku miringkan aku menunjuk seseorang yang sedang berjalan dengan membawa setangkai bunga matahari ditangannya. Kubuka mataku agar lebih jelas melihat orang itu, mukanya seperti tak asing bagiku.
Itu seperti. Dia!
“Dia?!
Aku menemukannya!”
                Teriakku dan langsung mengejarnya, aku lari kearahnya seperti orang kesetanan. Aku tak memerdulikan setiap orang yang kutubruk.
                Kini aku sudah berada tepat dibelakangku, sungguh nafasku tak bisa berhenti memburu. Tengkuknya, bau khas bunga matahari yang dibawanya, jangannya yang bebas menggantung menari bersama hembusan angina yang menderu, anak rambutnya yang terbang karna hembusan angin. Persetan dengan semua itu, aku tak kuat! Aku tak bisa, aku ingin menggenggam tangannya!
                Kujulurkan tanganku kearah tangannya dan hendak meraihnya. Dan…

*Ttttiiiiiiiinnnnnnn!!!!

                Sebuah seruan kelakson dari mobil membuyarkan semuanya. Dia menghilang! Ini tidak mungkin sudah jelas aku melihatnya, dia ada disini!

“Hey, kau! Cepat menyingkir dari jalanku! Kau mau bunuh diri apa?!”
                Teriak seorang laki – laki yang berada didalam mobil yang ada disampingku. Aku masih terdiam, pikiranku kosong kemana dia pergi?! Tanganku terangkat memegang kepalaku, nafasku kembali memburu, air mataku tak kuasa kutahan. Aku bingung harus berbuat apa, disini terlalu berisik!

                “Sedang apa dia disana?!”
“Mengapa dia tidak beranjak dari tempatnya itu?”
                “Hey! Bodoh! Cepat pergi dari situ! Kau ingin mati!”

                Selintingan itu terdengar menyeruak kedalam rongga telingaku, tangisku semakin menjadi – jadi kakiku menjadi melemas, pandanganku kabur. Tolong! Siapa pun tolong aku!
                Bawa aku pergi dari sini!
                Tiba – tiba seseorang memelukku dari belakang, salah satu tangannya menutup mataku dan yang satunya lagi memeluk tubuhku. Sembari berbisik.
“Tenanglah, semua akan baik – baik saja. Aku ada disini.”
                Jantungku seakan berhenti berdetak, setetes air mata jatuh ikut membasahi tangannya. Suaranya seperti suara… Ah, sudahlah itu tidak mungkin dia. Mungkin saat ini aku sedang berada didalam mimpiku dan aku akan terbangun didalam kamarku nantinya, tapi mengapa mimpi ini serasa seperti nyata.
                Orang itu memutar posisiku yang sekarang berhadapan dengannya, dia melepaskan tangannya yang ada dimataku tapi aku masih tetap memejamkan mataku, tak lama aku merasakan sesuatu yang basah dan hangat menyentuh bibirku. Dia menciumku!

“Aku merindukanmu.”
                Bisiknya lalu memelukku erat. Aku membuka mataku ragu, bagaimana mimpi bisa seindah dan senyata ini?!
“Ayo kita pergi.”
                Lanjutnya lalu melepaskan pelukannya, lalu menarik tanganku menjauh dari tempat itu. Dia pun mengajakku ketaman tua yang seperti biasa kita kunjungi. Kali ini aku yakin ini benar – benar dia!
**
                Sesaat keheningan menyelimuti kami berdua.
“Kau!”
“Kau!”
                Ucap kami serempat sembari menatap kedua mata masing – masing.
“Kau saja duluan.”
                Ucapku mengalah.
“Maaf karna mencium tadi.”
                Ucapnya sembari menundukkan wajahnya.
“Menciumku?! Kau benar – benar menciumku?!”
                Jawabku terkejut, sembari memutup bibirku. Dia mengangguk meng’iya’kan lalu berkata.
“Jangan bilang kalau itu adalah ciuman pertamamu?!”
                Jawabnya yang ikut – ikutan terkejut denganku, lalu aku mengangkuk meng’iya’kan. Memang benar itu adalah ciuman pertamaku dan kau adalah cinta pertamaku sejauh ini.
                Kau percaya sebuah kutipan yang menyatakan bahwa bila ciuman pertama seseorang akan menjadi cinta sejati kita? Entahlah.
“Hah…
Perempuan sepertimu diusia sekarang ini. Kau baru mendapatkan ciuman pertamamu?!”
“Kya!
Kau meledekku?! Memangnya siapa perempuan yang tak beruntung yang sudah mendapatkan ciuman pertamamu?”

“Kau.”
                Aku membulatkan mataku, jadi ini juga ciuman pertamanya?
“B-benarkah?”
                Jawabku meyakinkan.
“Sayangnya, itulah kenyataannya.”
                Dia mengganti posisi duduknya menjadi berdiri, dan aku langsung tertunduk malu mendengar pengakuannya itu. Tiba – tiba terdengar suara ponselnya bordering.

“Ada apa?
Mmm… Baiklah aku akan pergi sekarang.”
                Jawabnya kepada seseorang yang ada diseberang sana.
“Aku harus pergi.”
                Ucapnya dingin lalu dengan langkah pasti hendak meninggalkanku yang masih terduduk ditaman itu.
“Tunggu!”
                Aku berteriak berusaha menahannya. Dia pun berbalik.
“Kau tidak tau betapa lamanya aku menunggu untuk sebuah pertemuan singkat ini. Aku sudah mencarimu berhari – hari dan sekarang aku hanya mendapatkan 10 menit untuk melihatmu?”
                Tegasku.
“Lalu, kau mau apa sekarang?”
“Bawa aku bersamamu.”
                Pintaku dengan pasti.
“Kau yakin?
Aku akan pergi untuk menemuinya sekarang.”
                Masa bodo kau mau menemui siapa disana, aku sudah tidak sanggup kalau harus menjalani sebuah penantian untuk kedua kalinya.
“Mmm.”
                Jawabku sembari menganggukkan kepalaku,
**
                Dibawanya aku kesebuah gedung bertingkat dengan lahan parkir yang begitu luas. Tertulis plang besar bertanda “RUMAH SAKIT” didepan gedung itu. Apa yang akan dia lakukan disini?
                Dia membawaku memasuki setiap lorong dilantai 3 gedung itu, sampai kakinya untuk berhenti diujung lorong tepat didepan sebuah kamar pasien bernama Yukimura kanade. Dia menatap kearahku sebelum memasuki ruangan itu lalu menarik tangnku dan mendorongku masuk kedalam ruangan itu.

“Eh…”
                Aku membulatkan mataku saat melihat seorang perempuan yang sedang tertidur diatas ranjang dengan berbagai selang yang membantunya bertahan hidup. Kau yakin ini kekasihmu atau?

“Ibuku.”
                Ucapnya sembari melipat kedua tanganya didadanya dan menyenderkan bahunya kesamping pintu masuk sembari melihat kearahku yang kubalas dengan tatapan terkejut dari.
“Jangan menatapku seperti itu. Itu bukan sesuatu yang sengaja kusembunyikan… Tapi aku tak tau bagaimana mengatakannya. Dan aku tau, itu akan membuatmu memasang wajah seperti itu.”
                Jelasnya dengan muka datar.
“Jadi, kau bukan menemui…”
“Menurutmu siapa? Seorang kekasih?”
                Jawabnya sembari tersenyum ringan, lalu meninggalkan ruangan itu disusul denganku yang mengikutinya dari belakang. Sangat bodoh! Kau benar – benar sangar bodoh nami! Kau cemburu dengan pertemuan seorang anak dan ibunya?
“Maafkan aku.”
“Untuk apa kau meminta maaf?”
                Jawabnya sembari berdiri tepat didepanku dengan wajah datarnya.
“Maaf karna perasaanku yang egois.”
                Aku mulai tertunduk dan menangis karna perasaan bersalahku.
“Kau ini memang pintar menangis ya, benar – benar menyebalkan.”
                Ucapannya sembari menepuk – nepuk kepalaku lembut. Maafkan aku karna aku terlalu memikirkan perasaanku dan tak memikirkan perasaanmu. Aku bodoh karna merasa cemburu dengan perempuan itu yang jelas – jelas adalah ibumu.
“Kau memang tak berguna.”
                Ucapnya lagi, aku pun berhenti menangis dan mulai mengapus air mata yang berada dimataku disusul dengan pergerakan tangannya yang berhenti menepuk kepalaku. Lalu tiba – tiba tangnku menarik baju yang dikenakannya.

“Kau tidak akan berhenti sekolah kan?”
                Ucapku lalu menatap matanya yang sedari tadi sudah menatapku.
“Kau tidak akan berhenti datang ketaman itu kan? Apakah kau tidak ingin bersamaku?”
                Lanjutku sembari kembali meneteskan air mata, dia masih terdiam melihatku.
“Aku ingin bersamamu.”
                Ucapku lagi dengan air mata yang masih mengalir, dia terdiam sejenak lalu tangannya yang masih berada diatas kepalaku turun kepipiku lalu ibu jarinya membantuku menghapus air mata yang ada dimataku. Dia pun menatapku lamat masih dengan tangan yang ada dipipiku, lalu memelukku hangat.

“Aku…
Membutuhkanmu.”
                Ucapnya dengan nada yang sangat rendah.
“Percayalah, semuanya akan baik – baik saja.”
                Jawabku diselah isak tangisku mencoba memberinya kekuatan.
“Semuanya tidak akan baik – baik saja, dia akan mati.”
“Pasti ada jalan untuk mencegah itu terjadi.”
                Jawabku lalu tiba – tiba dia melepaskan pelukannya, terlihat wajahnya yang begitu merah dengan air mata menghiasi matanya.
“Jangan bodoh!
Semua sudah jelas bagiku, jangan mencoba menenangkanku karna semua sudah jelas sekarang! Dia sudah tak bisa lagi diselamatkan, dan aku?! Aku tak bisa melakukan apa – apa disaat terakhirnya. Kau benar, kadang dunia ini tidak adil bagi orang sepertiku, dan pecundang sepertiku pantas mendapatkan semua ini.
Tapi tenang saja, setidaknya aku sudah terbiasa dengan rasa kehilangan.”
                Jelasnya dengan nada penuh arti lalu meninggalkanku yang masih mematung dengan semua penjelasnya tadi. Sebegitu banyaknyakah masalahmu diluar sana, seberat itukah masalahmu sampai kau tak terlalu sering merasakan kehilangan?
                Bodohnya aku yang berfiir aku sudah mengerti dirimu. Bahkan sedikit pun aku tidak pernah mengerti akan semua kesulitan itu.
                                Maafkan aku karna telah gagal mengerti dirimu.
**

Juli
Ini sudah masuk musim panas, hujan akan mulai berhenti turun dan akan diganti dengan harumnya musim panas. Kuharap setelah pergantian musim, ada sedikit kemajuan diantara kita nanti.
                Kuharap.

                Aku masih di Tokyo dan semenjak kejadian itu aku tidak tau harus berbuat apa, aku sudah jarang masuk kerja, bukan karna aku tidak menginginkannya aku hanya bingung apa yang harus aku tulis untuk sebuah novel yang indah. Aku menginginkan cerita dan itu hanya ada bila aku bersamamu.
**
                Aku pijakkan kakiku melangkah diatas jalan yang sebagian masih tersisa beberapa genangan air hujan bekas kemarin. Aku putuskan untuk menemui wanita itu, wanita yang membuatku memikul semua kepedihan ini. Tolong biarkan kali ini aku yang akan mengelurkanmu dari semua masalah ini.

                15 menit perjalanan aku tiba disebuah rumah sakit besar dipusat kota, kulangkahkan kakiku menuju arah sebuah ruangan disudut ruangan. Kakiku sesaat terhenti, aku merasa ragu apakah keputusanku kali ini akan bisa membantumu?
                Kuraih gagang pintu yang terasa begitu dingin. Aku mengembil nafas dalam saat hendak memasuki ruangan itu. Terlihat didalam ada seorang wanita paruh baya terbaring dengan sebuah alat bantu pernafas yang tertancap menutupi bagian hidung dan mulutnya.
Seolah ingin mengambil perannya, angin dari selah – selah jendela yang terbuka membuat suasana menjadi tambah terasa hangat bagi ruangan itu, ditambah sebuah bunga matahari besar menghiasi pot kecil disebelahnya.

                Aku mengambil langkah pasti, kududuk disebuah kursi disebelahnya, aku menatapnya lamat sepertinya dia tertidur sekarang. Kuperhatikan setiap tarikan nafasnya yang membuat tubuhnya turun-naik. Wajahnya sangat mirip dengannya, hidungnya, kelopak matanya, garis wajahnya yang tegas semuanya itu dirimu.

                Wanita ini yang membuatmu sangat lemah dan wanita ini juga yang bisa membuatmu merasa hangat. Aku terus memerhatikan wajahnya sembari mengembangkan sebuah senyuman manis dengan ditemani secercak air disudut mataku yang sedikit membasahi. Tak lama sang pemilik mata coklat itu pun terbangun.

“Eh…”
                Ucapku agak terkejut, lalu membenarkan posisi dudukku yang sedikit miring. Senyumnya terlihat dari balik alat transparent itu, lalu dia pun membuka alat itu.

“Eh…”
                Aku mencoba menahannya membuka alat itu, tapi tangannya dengan cepat menghalangi tanganku.

“Aku tidak apa – apa. Bukankah lebih baik bila berbicara tanpa alat ini?”
“Kau yakin, kau tidak apa – apa?”
                Dia tersenyum.
“Kau gadis yang baik, ryou pasti sangat menyayangimu. Kau kekasihnya?”
                Ryou? Kekasih?
“Ryou?”
“Iya, dia anak laki – lakiku.”
                Jadi namanya ryou?
“Dengarkan aku. Umurku sudah tak lama lagi, aku tau itu.”
                Dia berbicara dengan nada yang sedikit bergetar, sembari memegang tanganku.
“Tidak! Kau akan baik – baik saja. Aku akan berusaha agar kau bisa sembuh dan kembali berkumpul bersama ryou.”
                Dia tersenyum.
“Itu semua sudah terlambat, ryou sudah membenciku sekarang. Aku yang tua ini akan digantikan oleh gadis baik dan manis sepertimu.
Jadi aku mohon tetaplah bersama dengan ryou. Dia memang orang yang dingin tapi percayalah dia pasti akan menyayangimu dengan baik.”
                Air mataku menetes saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir lesunya. Sungguh bahkan sampai detik ini pun dia tidak tau namaku, bagaimana dia akan menyayangiku.
“Tidak!
Ryou tidak pernah membencimu, dia hanya takut dihantui rasa bersalahnya bila dia datang menemuimu. Dia hanya takut, aku mohon bertahanlah sebentar lagi aku akan mencari orang yang bersedia mendonorkan jantungnya untukmu.”
                Aku menggenggam tangannya erat.
“Kau---“
“Kalau perlu, aku yang akan mendonorkan jantungku untukmu. Jadi kumohon tunggulah sebentar, dan jangan pernah berhenti menyayangi ryou. Aku mohon, dia sangat menyayangimu.”
                Tegasku sembari membungkukkan setengah badanku memohon. Air mata kami tidak bisa terbendung lagi. Ini semua soal pengorbanan bukan? kau yang berkorban untuk anakmu dan aku yang berjuang untuk anakmu. Bukankah kita sama – sama menyayangi orang yang sama? Jadi bisakah kita berkerja sama untuk itu, aku tau ini akan menjadi keputusan terbesar dalam hidupku jadi kumohon tetaplah bersamanya.
                Karna aku mecintainya.
**
                Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian itu, dan aku masih belum tau kau dimana dan apa yang sedang kau lakukan sekarang. Kuharap aku bisa melihatmu sebelum aku melakukannya.
                Hari ini aku memutuskan untuk pergi ketaman itu, aku memakai sebuah sweater cream dengan jeans coklat dan sepasang sepatu hak tinggi berwarna senada dengan jeansku. Kuurai rambutku yang sudah memanjang setengah lenganku.
Setelah semua yang akan terjadi nanti, ini akan menjadi pilihanku yang paling aku yakini. Semua akan kembali seperti semula, kau akan mendapatkan kebahagiaanmu lagi, ryou.

“Kau disini?”
                Sepenggal suara menyapaku.
“Kau?!”
                Dia tersenyum.
“Kau… Kupikir kau sudah melupakanku…”
“Tadinya memang akan kulakukan.”
                Jawabnya sembari mengambil posisi disebelahku.
“Lalu?”
“Entahlah.
Ayo kita habiskan waktu bersama.”
“Eh?!”
                Apa yang dia katakana barusan? Menghabiskan apa?
“Eh?”
                Dia pun mengulurkan tangangnya padaku. Lalu tersenyum, kupikir itu adalah senyuman terbaik yang pernah kulihat. Apa aku bermimpi?

                Dia pun mengajakku kesalah satu tempat wisata diluar Tokyo. Kami menaiki berbagai macam wahana, menghabiskan banyak permen kapas, memberi minuman segar, tertawa bersama. Semua ini seperti dalam film romantic yang sering kutonton. Terlihat palsu tetapi terasa asli.

                Hari bergulir sangat cepat meninggalkan kenangan siang hari yang sudah kulalui bersamanya. Lampu – lampu jalan satu persatu sudah menyala menghiasi malam yang indah ini. Sudah sekitar 10 menit aku berjalan diatas trotoar jalan, sembari melihat pemandangan laut biru yang ada dibawah sebelah kananku. Aku berhenti sejenak, sembari mendekap kedua lengan atasku dengan tanganku.
                Tak lama dia pun ikut berhenti lalu membuka jaket yang dikenakannya, lalu menarik tanganku sehingga menghadap kearahnya.
                Kunaikkan kedua alisku, tanda bertanya.

“Kau seharusnya tidak memakai baju setipis ini, angina malam benar – benar tidak baik untukmu.”
                Dia memakaikan jaketnya ketubuhku.
“Kau…”
“Pakailah.”
“Arigatou.”
                Jawabku sembari tersenyum malu, lalu memalingkan wajahku darinya dan kembali mendekap lenganku.
“Hah…
Apakah jaketku masih tidak cukup, mengapa kau masih mendekap tanganmu seperti itu!”
                Ujarnya, yang membuatku langsung melihatnya heran. Kemudian dia pun langsung mendekatiku dan memelukku dari belakang.

“Apa sekarang sudah cukup?”
                Kau tau sebodoh inikah aku sampai saat ini aku masih tidak bisa menahan untuk tidak memikirkanmu? Sungguh aku tak berdaya, ya tuhan bisakah semuanya seperti ini terus? Kumohon aku baru saja memulai kisahku, bisakah untuk sesaat saja kau perpanjang waktuku bersama orang ini?
               
                Seketika air mataku jatuh, saat dia memelukku.
“Hari akan semakin gelap, kita harus pulang sekarang.”
                Tidak!
“Hey…”
                Menarik bahuku agar berhadapan dengannya.
“Mengapa kau menangis?”
“T-tidak aku hanya… Senang.”
“Kau senang? Tapi kau menangis?”
“Entahlah, ini rasanya aneh.”
                Mengangguk menyetujui.
“Baiklah tuan putri, maafkan pangeranmu ini waktuku hari ini sudah habis untukmu, jadi bisa kita pulang sekarang?”
                Tertawa kecil.
“Baiklah, pangeran…”
                Iya, pangeran. Kau akan selalu menjadi pangeran sekarang atau pun nanti.
Aku percaya itu.
**
Ryou itu namamu?
Ryou apakah kita memang tidak bisa bersama? Mengapa menurutku ini begitu sulit, sangat sulit bila harus berpisah karna sebuah keharusan.

Seperti menyiksa diri dengan mengurungnya didalam sebuah sel yang dimana kuncinya tak pernah bisa kita ingat menyimpannya dimana.
Menyiksa memang, tapi ini adalah pilihanku untuk tetap mencintaimu walau mungkin akhirnya hanya aka nada nama dirimu, tidak ada aku.
**

                Sudah 3 minggu aku habiskan beberapa lembar kertas untuk meluapkan segala perasaan senang dan rasa aneh yang tak bisa kumengerti saat aku bersamamu, entah itu bahagia atau malah rasa miris karna melihatmu semakin hari semakin sering tertawa bersamaku bukan dengan wanita tua itu.
                Maaf
Karna aku ini ternyata memang benar – benar seorang gadis yang egois bukan? Tapi aku mohon semoga saja kau mengerti aku hanya ingin meminta 3 minggu dari sebuah kebahagiaan yang akan kuberikan kepada wanita itu, jadi setelah 3 mingguku kudapatkan aku berjanji akan benar – benar melepaskanmu.
                Ryou.
**
                *Tok tok tok
“Tunggu!”
                Kubuka pintu apartmentku, terlihat seorang laki – laki memakai kaos oblong berwarna putih dengan celana berwana biru tuanya menatapku dengan sebuah surat ditangan.

“Kau?!
B-bagaiamana kau bisa ada disini?!”
“Bukankah aku hebat?”
                Dengan langkah cepat, dia lansung menerobos masuk kedalam apartmentku.
“Kau!”
“Hah…”
                Didudukinya sofa berwarna biru tua milikku, lalu menyenderkan kepalannya kebagian belakang sofa.
“Kya!”
                Melirikku dengan sebelah mata yang masih tertutup.
“Bagaimana kau bisa disini?!”
“Aku bertemu dengan petugas pengantar surat lalu dia bertanya kepadaku soal alamatnya, dan tertulis disurat itu, bahwa surat ini untukmu jadi kuputuskan untuk mengantarkannya.”
                Kuhembuskan nafas berat menengar penjelasannya.
“Mana suratnya?”
“Ini surat dari rumah sakit, apa kau sakit?”
“Rumah sakit?”
                Kuambil surat itu dari tangannya.
Rupanya hari ini sudah genap 1 minggu.
“Kau sakit?”
                Tanyanya sembari membenahi posisi duduknya.
“T-tidak!
Ini milik ibuku.”
“Benarkah?”
                Kuanggukkan pertanyaannya sembari tersenyum ringan.
“Kuharap kau akan tetap sehat – sehat saja. Minggu depan aka nada festifal kembang api, kuharap kita bisa melihatnya bersama.”
                Menyentuh sebelah pipiku sembari tersenyum, lalu pergi meninggalkanku yang masih sibuk mencerna semua perkataannya barusan.
Festival kembang api? Aku bersamanya?
                Baiklah ini akan jadi penutup cerita yang bagus.
**
                Waktu berjalan begitu cepat, Ini sudah 1 minggu rasanya baru kemarin aku memutuskan akan menghabiskan waktuku denganmu. Dan setelah 3 minggu nanti aku benar – benar akan meninggalkanmu kuharap semua kenangan yang sudah aku buat bersamamu bisa cukup untuk menjadi cerita penemanmu bersantai dengan secangkir teh hangat disore hari nanti.

“Halo bu?”
                Seruku memanggil ibuku dari telepon yang tersambung kepadanya.
“Nami? Ada apa?”
“T-tidak. Ibu sedang apa?”
“Ah… Kau ini selalu mengejutkanku, kupikir terjadi sesuatu denganmu. Ibu sedang menyiapkan pakaian untuk adikmu dia akan pergi merayakan festival kembang api bersama temannya, seandainya kau ada disini ibu ingin membantu merias rambutmu.”
                Kuharap aku juga bisa berada disana bu.
“Bu…”
“Mmm?”
“Apa kau sangat menyayangiku?”
“Tentu saja iya, kau adalah anakku. Kau ini!
Sebenarnya ada apa denganmu hah?”
“Entahlah, mungkin karna aku merindukanmu bu.”

“Kau tidak pergi ke festival?”
“Aku baru akan berangkat.”
“Kau berangkat dengan siapa?”
“Seorang laki – laki.”
“Dia kekasihmu?”
“Entahlah…”
                Kuharap begitu bu.
“Ibu, aku menyayangimu!”
                Kututup teleponnya sebelum ibu menjawab kalimatku tadi, maafkan aku bu aku bahkan terlalu gugup untuk mendengar jawabannya. Walau aku sudah jelas – jelas mengetahui jawabannya.
**
                Kulangkahkan kakiku menuju sumber cahaya berada diujung jalan dengan puluhan lampion yang menerangi disetiap sisinya.
Akhirnya aku benar – benar pergi bersamanya.
                Dengan dibalut yukata berwarna merah muda dan rambut yang sudah ditata sedemikian rupa, aku berjalan menggunakan sandal kayu dengan tas kecil berwarna merah muda yang ikut menambah tampilanku. Kulihat seorang laki – laki dengan yukata berwarna hitam dengan khiasan bunga teratai berwarna putih, sedang mematung dengan kedua tangan yang dilipat didepan dada.
                Aku benar – benar disini sekarang, bersamamu menghabiskan malam bersama dengan sebuah rasa yang kuharap akan bertahan lama entah sampai kapan tapi kuharap akan selalu ada walau nanti salah satu dari kita akan pergi dan entah kapan akan menemukan seseorang yang akan mengisi dan menggantikannya kembali.
                Bukan begitu.
Ryou.
**


“Maaf membuatmu menunggu.”
                Ucapku malu sembari menundukkan pandanganku, dia hanya membalas dengan menaikkan kedua alisnya tanpa meng’iya’kan, lalu berjalan masuk diikuti dengan aku yang berjalan dibelakannya.

“Kau mau permen kapas?”
                Kuanggukan tanpa setuju, lalu dia membalas dengan sebuah senyuman.
Angin malam berhembus menemani setiap aktivitas yang aku lakukan dengannya mulai dari melihat – lihat topeng, menonton pertunjukan, memakan permen kertas. Dan diakhiri dengan berdo’a dikuil.

“Kau lelah?”
“T-tidak!”
“Benarkah?”
                Mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu mau menemaniku duduk sebentar.”
“B-baiklah.”
                Ayolah aku tau jelas kau pasti ingin aku istirahat, dan mulai mencari alasan bahwa kau ingin ditemani duduk sebentar tapi jelas – jelas kau tau aku yang butuh duduk sebentar.
“Tidak usah terlalu memaksakan.”
“T-tidak aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.”
                Dia pun tersenyum sembari berlutut dihadapanku yang masih terduduk ditempat duduk sebelah kuil.
“Kau tidak bisa melanjutkannya bila kakiku memar seperti ini.”
                Melihat kakiku sembari menaruhnya dipahanya.
“T-tidak! Aku baik – baik saja.”
                Jawabku yang langsung menarik kakiku dan berdiri.
“Kau yakin?”
                Ucapnya sembari ikut berdiri dengan tangan yang dillipat didepan dada, dengan wajah yang mulai berseri – seri melihatku yang mulai kesakitan saat berdiri.
“Baiklah nona, aku akan tetap melanjutkan tore ini bila kau mengizinkanku untuk menggendongmu.”
“Apa kau yakin?”
“Apa wajahku terlihat sedang berbohong?”
“Baiklah.”
                Dia langsung menggendongku, lalu melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat dipuncak bukit agar dapat melihat kembang api dengan jelas. Dia pun menurunkanku saat sudah sampai dipuncak bukit itu.
“Apakah kita sudah menjadi sepasang kekasih sekarang?”
                Tanyaku “bodoh!”
“Kau berharap begitu?”
“Mungkin iya.”
“Jika kita menjadi sepasang kekasih, aku masih tidak yakin aku akan bisa memberikan sesuatu yang berharga untukmu. Aku telah memikirkan hal – hal yang mungkin akan membuatmu senang, tapi aku benar – benar belum mengerti apa yang benar – benar bisa membuatmu senang.”
                Aku pun terkejut mendengarnya, lalu mendekatinya dan memegang tangannya sembari berkata.
“Aku…
Aku ingin seperti biasa saja. Hanya dengan bersamamu saja sudah sangat istimewa bagiku.”
                Walau mungkin hanya ini kesempatan terakhirku untuk bersamamu.
“Kau ini. Begitu sederhana perasaan bagimu.”
                Dia menjawab sembari tersenyum kepadaku, kubalas dengan senyuman juga diiringi dengan air mata bahagia yang menetes. Lalu dia memelukku dalam.
“Kau bilang tadi kau bahagia akan hal – hal sederhana, lalu mengapa air mata itu masih menetes?”
                Bisiknya.
“Aku hanya sangat bahagia sampai aku ingin menangis.”
                Dia mulai melepas pelukannya.
“Apakah kau sebahagia itu karna mencintaiku, sampai kau ingin menangis?”
                Aku mengangguk meng’iya’kan.
“Jadi kau juga akan mencintaiku?”
                Seketika suasana yang begitu hening menyelimuti kita berdua. Lalu dia pun mendekatiku dan berbisik.
“Bahkan bila aku tak mengatakan kebenarannya, kau juga pasti sudah tau apa jawabannya.”
                Dia pun menciumku dengan lembut, tepat saat kembang api yang utama diluncurkan.
**
                Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam dan aku masih disibukkan dengan sebuah cerita bergenre romantic yang masih kutulis, mungkin selama 3 minggu terakhir ini aku akan berusaha mati – matian membereskan cerita ini. Setidaknya ketika aku pergi nanti masih ada sebuah kenangan yang bisa mengingatkanmu padaku.
                Kuharap.
**
                Hari ini kumulai hariku dengan membereskan seisi rumah susunku. Aku menghabiskan kurang lebih 2 jam full untuk membereskannya dan ku akhiri dengan merebahkan tubuhku yang mulai tidak karuan rasanya diatas sebuah tempat duduk kayu yang cukup lebar diteras depan rumahku.

“Haaaaahhhh!!”
                Pekikku lelah, dengan tubuh yang setengah berbaring dan kedua tangan yang kurentangkan.
“Akhirnya aku bisa membersihkannya.”
                Ucapku sembari tersenyum girang, tiba – tiba datanglah seorang laki –laki menghampiriku dan langsung menundukkan wajahnya mendekati wajahku, dengan tangannya yang memeggangi kedua tanganku erat.

“Sedang apa kau?”
“Aa-----“
                Membungkam mulutku dengan mendekatkan wajahnya kewajahku.
“Ssssttttt”
“M-mau apa kau?!”
                Mulai melamat – lamat wajahku, dan mulai tersenyum.
“Ayo habiskan waktu bersama.”
“Apa?!”
                Melepaskan tanganku dan mulai beranjak berdiri.
“Aku tunggu kau dibawah aku membawa sesuatu yang tak bisa kubawa sampai keatas sini.”
                Ucapnya lalu meninggalkanku yang masih sibuk mencerna ucapannya tadi, benarkah? Apa aku tidak salahd dengar untuk kedua kalinya dia ingin aku menghabiskan waktu bersamanya?!
                Ini benar – benar sebuah kemajuan!

                Dengan memakai baju berwarna pink, jeans pendek berwarna biru tua, rambut yang diikat asal dan sebuah sandal bertema bohemian aku berjalan menuruni tangga dari rumah susunku dilantai 5.

“Kau tau cara memakai sepeda kan?”
                Ucapnya sesampainya aku dibawah, lalu aku mengangguk meng’iya’kan.
Kami pun pergi bersepeda sembari sesekali bertukar tawa, kami bersepeda mengelilingi sebuah taman, danau, dan terakhir melewati sebuah jembatan gantung.

“Kau mau balapan?”
“Jangan remehkan keahlianku tuan.”
                Jawabku menerima tantangannya.
Sekitar setengah jalan dari jembatan tua itu kita lewati untuk beradu kecepatan.

“Baiklah aku akui kau memang pandai memainkannya, tapi bagaimana kalau istirahat sebentar?”
“Baiklah.”
                Kami pun memutuskan beristirahat sebentar dengan duduk dipinggir jembatan dengan kaki yang tergantung kebawah jembatan.

“Aaaaaaaaaa!!!”
                Teriakku nyaring.
“Hey, mengapa kau melakukan itu?!”
“Entahlah, aku hanya sedang meluapkan kebahagiaanku sekarang.”
                Jawabku sembari tersenyum padanya yang duduk agak jauh dariku.
“Kau…”
“Mmm?”
“Menurutmu mengapa kau bisa mencintaiku?”
“Mengapa kau bertanya?”
“Entahlah, lupakan saja.”
                Jawabnya sembari beranjak meninggalkan tempatnya.
“Bagaimana kalau jawabannya karna kau itu special?”
                Jawabku, yang langsung menghentikan langkahnya.
“Hah…
Bagaimana seseorang yang belum sampai 5 bulan kau kenal, sudah bisa menjadi orang yang special untukmu?”
                Jawabnya dengan masih tidak bergerak dari tempatnya.
“Entahlah…”
                Aku mulai berdiri dari posisiku, membalikkan badan mendekatinya, lalu memeluknya dari belakang.
“Mungkin itu hanya sebuah alasan agar aku bisa menjawab pertanyaanmu, karna sebenarnya aku tidak memiliki alasan untuk menyukaimu bahkan mencintaimu.
                Ryou.”
                Jelasku lembut, yang sontak membuatnya terkejut.
“Bagaimana kau tau soal itu?”
“Namamu?”
                Dia pun mulai memutar tubuhnya kehadapanku, sembari berkata.
“Mungkin kau mencintaiku karna kau sudah mengetahui namuku. Lalu bagaimana aku bisa mencintaimu tanpa tau namamu?”
                Tanyanya, lalu kubalas dengan senyuman.
“Apa kau pernah memberi tau siapa namamu padaku? Tidak bukan, jadi kau juga harus mencari tau sendiri. Bukan begitu?”
                Jawabku usil sembari meninggalkannya yang masih mematung melihat tingkahku.
“Kyaaa!”
“Cepatlah! Kau bisa tertinggal bila tetap diam disitu!”
                Teriakku yang sudah mulai mengendarai sepeda yang mulai berjalan meninggalkannya.

Mungkin sekarang bukan saatnya kau mengetahui siapa namaku, aku ingin kau tau namaku saat membaca bukunya, jadi ryou… Kuharap kau bisa menunggu, aku hanya butuh 2 minggu lagi untuk menyelesaikannya jadi kuharap kau bisa menunggu.

**

                Seharian penuh kemarin kuhbiskan waktu bersamanya, sampai aku lupa aku menutup hari bersamanya dengan melakukan apa. Hari ini? Entahlah kuharap akan lebih berwarna dari hari – hari ku sebelumnya.
                Kini aku masih berkutat dengan sebuah buku resep masakan yang kubeli ditoko perempatan dekat rumah susunku, aku tak begitu suka memasak tapi apa salahnya mencoba bukan walau hanya untuk yang pertama dan yang terakhir.

                Beberapa menit waktu berjalan aku sudah berada dirumah susunku, dan disana sudah ada seorang laki – laki yang sudah dengan rapi mematungkan tubuhnya didepan pintu.
“Sedang apa kau disini?”
“Entahlah…”
“Dasar aneh.”
                Ucapku sembari membuka pintu rumah susunku.
“Kau tidak mengajakku masuk?”
                Menggerakkan kepalaku kearah dalam rumah, mencoba memberi kode agar dia segera memasuki rumahku.

“Apa yang kau bawa?”
                Melihat kearah buku resep makanan yang kubawa.
“Ah, ini bukan apa – apa.”
                Menaruhnya diatas meja didapur.
“Resep makanan?”
                Menaikkan bahuku sembari tersenyum iseng.
“Kau mau mencobanya?”
“Mmm? Tidak perlu aku hanya iseng membelinya.”
“Mmm… Ayo kita coba, sepertinya ini terlihat enak.”
                Menunjuk salah satu halaman dibuku resep itu.
“Dorayaki?”
                Menganggukkan kepala.
“Kau ini seperti anak kecil saja.”
“Memang aku masih anak kecil, bukannya dalam cerita ini kaulah yang orang dewasa.
Dengan kata lain---“
“Ssssstttt!! Hentikan! Aku tak perlu penjelasanmu lagi, baiklah ayo kita buat itu.”
“Ok!”
                Mulai menutup mulutnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk membuat sebuah dorayaki, memang sebuah makanan yang sederhana tapi aku akan merasa senang bila masakan pertamaku yang kubuat bersamamu terasa lezat. Kuharap…

“Bisa kau bantu mengaduk adonan ini aku ingin memotong kismisnya, aku akan membuatnya sebagai isian didalamnya nanti.”
                Ucapku padanya dengan tangan yang masih disibukkan dengan sebuah adonan.
“Baiklah… Kau yakin kau bisa memotong?”
                Jawabnya saat melihatku mulai membawa sebuah pisau.
“Kau meragukanku?! Hal seperti ini hampir semua orang didunia ini juga bisa melakukannya. Ayolah, ini hanya sekedar memotong kismis…”
“Terserah kau aja. Aku hanya memastikan, berhat---“
“Aawww!!!”
Belum sempat ucapannya selesai jari telujukku sudah sukses mendapatkan sebuah goresan dari tajamnya pisau tadi.
“Kau ini! Sudah kubilang tadi, apa kau yakin akan melakukannya atau tidak kau malah tetap
melakukannya.”
“Kupikir ini hanya sekedar memotong biasa.”
“Berikan tanganmu!”
                Kusodorkan tanganku ragu.
“Apa yang akan kau lakukan?!”
                Mataku sontak membulat sempurna, saat melihatnya mendekatkan jariku kebibirnya.
“Aku akan menghentikan darahnya.”
“Tunggu! Apa sebenarnya kau ini vampire?! Mengapa kau mau menyedot darahku?!”
“Tenanglah! Cara ini selalu berhasil.”
                Dia pun menyedot darah yang ada dijari telunjukku, rasanya aneh saat dia melakukannya
sebegitu pedulinyakah dia padaku?
“Darahnya sudah berhenti.”
                Melepaskan tanganku, lalu melanjutkan pekerjaannya mengaduk adonan.
“Wah…
Kau benar, cara itu memang ampuh!”
“Sekarang pakailah plester agar tidak terlalu sakit, sebelumnya basuh dulu tanganmu dengan air.”
Kujawab dengan sebuah anggukan tanda meng’iya’kan. Lalu langsung pergi membasuh tanganku dan mengambil plester yang ada dikotak p3k. Saat aku hendak memakai plesternya aku sedikit merasa kesulitan, wajar saja lukaku berada dijari tengah tangan kiriku dan berada dibagian dalam jadi aku agak susah memakainya.
“Mmm…”
                Ucapku kepadanya yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Kau tidak bisa memakainya?”
                Mengangguk.
“Bagaimana bisa kau tidak bisa memakai sesuatu seperti ini, ini sebuah hal sepele bahkan hal kecil saja kau tidak bisa mengurusnya, bagaimana kau bisa mengurus hidupmu sendiri. Apa kau sengaja melakukannya, kau sengaja agar aku yang memakaikannya untukmu?”
“Kya!
Kenapa kau berpikiran begitu?”
“Apa sebegitu hausnyakah kau akan sentuhanku?”
                Ucapnya kembali menggodaku, sembari memakaikan plester dijariku.
“Kau ini! Apa yang kau bicarakan!”
                Tersenyum.
“Bukankah itulah kebenarannya.”
“Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan.”
“Sungguh malang dirimu ini, mengapa kau harus sampai melukai dirimu sendiri hanya untuk mendapatkan sentuhanku hah? Baiklah mari kita lihat, aku sudah mengobati luka dijarimu itu, apakah aku juga perlu mengobati luka dihatimu? Apa aku juga perlu menyentuhmu lebih dalam agar, aku bisa mengerti luka dihatimu? Agar aku bisa mengerti perasaan yang selama ini tak kumengerti?
                Ucapnya sembari menyingkirkan beberapa helai rambut yang ada didekat leherku dan mulai mendekati bagian leherku yang mulai terexspos sampai aku mulai bisa merasakan tiap hembusan nafasnya yang keluar menyentuh kulit leherku. Dia!
“Kau! Apa yang kau lakukan?!”
                Mencoba menjauh darinya dengan mendorongnya menjauhiku. Dia pun mulai tertawa geli melihat ekspresiku yang sudah tegang.
“Bukankah tadi itu keren? Lihatlah mukamu itu, benar – benar wajah orang yang begitu tegang.”
“Kau ini! Kupikir kau akan…”
“Apa? Mencium lehermu? Oh! Atau kau berpikir aku benar – benar menginginkan untuk melakukan hal yang lebih serius dari sekedar mencium leher?”
                Ucapnya kembali menggodaku, sembari tak henti – hentinya tertawa geli.
“Tidak! Aku tidak berpikir seperti itu!”
“Benarkah?! Wah…wah…wah… rupanya sifat aslimu itu akhirnya muncul juga yah.”
“Sifat asliku? Apa maksudmu?”
“Mesum”
                Ucapnya datar.
“Apa?! Kya!”
                Emosiku mulai memuncak, lalu aku pun membawa segenggang tepung terigu yang ada diatas meja kemudian melemparkannya kewajahnya.
“Rasakanlah itu! Dasar bocah gila!”
“Apa kau bilang?! Bocah gila!”
“Iya itulah dirimu!”
“Lalu mengapa kau bisa menyukai seorang bocah gila sepertiku?!”
“Itu…”
                Aku terdiam sejenak, ucapannya ada benarnya juga bagaimana aku bisa menyukai seorang bocah gila sepertinya?
“Ah! Entahlah! Memang siapa yang peduli dengan alasan mengapa aku menyukaimu!”
                Jawabku, lalu pergi meninggalkannya didapur.
“Kya! Mau kemana kau? Makanannya belum selesai!”
“Bersihkan dulu wajahmu! Aku tidak mau memasak dengan seseorang dengan wajah seperti badut begitu.”
“Aaaiishh, bukankah dia yang melakukannya?!”
**
Beberapa menit berlalu, kini air hujan sudah mulai turun membasahi. Kini aku masih terduduk disebuah sofa berwarna biru tua ku dengan segelas teh yang kupegang dan sepiring dorayaki yang menghiasi meja didepanku. Tiba – tiba dia pun mengambil tempat kodong disebelahku lalu duduk disana.
“Kapan kau akan pulang?”
                Tanyaku datar, saat dia mulai membawa dorayaki yang ada dipiring.
“Kau tega menyuruhku pulang, saat hujan turun disana?”
“Kupikir kau akan tidak nyaman bila lama – lama bersamaku disini.”
“Pikiran yang jahat.”
“Aku tau. Sekarang, beritahu aku apa sekarang kau mulai menyukaiku setelah apa yang sudah kita lalui bersama?”
                Tanyaku mulai terasa semakin intens, sembari mendekatinya aku menunggu jawaban yang akan keluar dari mulutnya itu.
“Entahlah…”
                Jawabnya datar, sembari melanjutkan memakan dorayakinya aku pun menjawabnya dengan sebuah hembusan nafas berat.
“Lalu kapan kau akan memulainya?”
                Tanyaku lagi.
“Entahlah…”
                Jawabnya kembali datar.
“Iisshh!”
                Desisku lalu beranjak meninggalkannya, tiba – tiba dia pun menarik tanganku kembali duduk.
“Apa?!”
“Apakah kau sangat ingin aku mencintaimu?”
“Menurutmu?!”
“Apakah begitu penting bagimu sebuah perasaan?”
“Iya itu begitu penting bagiku, karna bila kau tidak juga mencintaiku untuk apa aku mulai bertahan untuk sebuah hati yang bahkan tak berbalas!”
                Nada bicaraku mulai meninggi, tapi wajahnya tetap saja tidak merasa terkejut masih sama seperti sebelumnya tetap datar.

“Kalau begitu buatlah aku mencintaimu, buatlah aku mencintaimu sampai aku tak pernah terpikirkan bagaimana rasanya sakit bila kau meninggalkanku, buatlah aku tergila – gila padamu sampai aku tak terpikirkan untuk berpaling darimu. Buatlah aku melakukan hal – hal gila hanya untuk membuatmu tersenyum, buatlah itu semua terjadi. Apa kau bisa melakukannya?!”
                Nada suaranya tak kalah tinggi dengan nada bicaraku sebelumnya, kini tangannya yang memegang tangaku mulai semakin erat mungkin bekasnya akan memerah nanti. Aku yang mendengarnya pun mulai membulatkan mataku, entahlah aku tak yakin akan bisa membuatnya seperti itu tapi jujur aku sangat menginginkannya entah apa alasannya.
“Apa kau bisa melakukannya?”
                Dia kembali bertanya, sekarang nadanya mulai merendah.
“Kalau kau bisa melakukannya, aku tak akan ragu menjatuhkan sepenuhnya hatiku padamu.”
                Ucapnya lagi, kemudian melepaskan tanganku dan beranjak meninggalkanku. Bukankah percakapannya belum berakhir? Kau tak seharusnya pergi sekarang. Tunggu! Aku tidak mau menyesal setelah ini!
“Jangan pergi!”
                Pekikku perlahan, sembari memeluknya dari belakang mencoba menahannya. Air mataku yang kini mulai membasahi punggungnya mulai mengalir.
“Kumohon, beri aku kesempatan untuk melakukannya.”
                Dia pun membalikkan wajahnya.
“Aku pasti bisa melakukannya, kau… kau hanya terlalu keras bagiku, ini akan sedikit sulit. Tapi yakinlah semuanya akan berjalan begitu indah nanti.”
                Ucapku sembari menyentuh lembut pipinya yang hangat dengan tanganku yang dingin dan mulai gemetar.
“Aku… aku akan melakukannya. Aku akan membuatmu mencintaiku, sampai kau tak akan pernah berpikir betapa menyiksanya aku tinggalkan. Jadi tunggulah saat itu, kau harus percaya padaku.”
                Ucapku lalu merangkul lehernya dan mendekatkan keningnya sehingga menyentuh keningku. Tak kusangka ini akan sesulit ini, kau benar – benar dingin dan keras. Sudah seberapa jauh sebenarnya kau terjatuh? Apakah sepedih ini sampai bahkan hatimu begitu dingin dan keras, apakah begitu sulit bagimu untuk mencintai?
                Cukup lama aku diposisi ini, sampai aku pun memberanikan diri untuk lebih mendekatinya. Sampai aku pun benar – benar dekat aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang bernafas disekitar pipiku, wajahnya begitu teduh dari dekat. Aku pun menciumnya entah apa yang kupikirkan tapi sepertinya aku akan benar – benar memilih terjatuh bersamanya kali ini.
                                Aku benar – benar mencintaimu… Ryou.
**
                Hujan mulai berhenti, sekarang giiliran rintih – demi rintik yang tersisa membasahi setiap helai dedaunan dikota Tokyo, entah apa jadinya novel ini nanti aku telah mengahabiskan berbulan – bulan menulisnya hanya untuk sebuah tujuan konyol. “Membuatmu membaca perasaanku selama ini.” Itulah alasannya, sebuah alasan yang konyol hingga aku bisa memutuskan menulisnya sampai 51 halaman kini mungkin akan bertambah banyak lagi seiring kau masih bersamaku.
Kejadian kemarin masih sering aku ingat sampai saat ini, aku tak menyangka akan melakukan itu. Tapi setidakya aku tak akan menyesal bila aku benar – benar pergi nanti, karna aku sudah pernah merasakan rasanya menciummu.

Hari ini aku kembali mendapatkan surat dari rumah sakit, yang munyuruhku untuk secepatnya memeriksa kondisiku sebelum operasi itu dijalankan, ini benar – bena sudah genap 3 minggu. Aku senang bisa benar – benar menghabiskan waktuku bersamamu, itu sangat menyenangkan.

Tapi kali ini aku tak berniat untuk bersamamu, aku mungkin butuh sebuah waktu dimana aku benar – benar ingin merasa sendiri walau hanya dengan sekedar merasakan bagaimana rasanya terduduk diatas sebuah bangunan yang begitu tinggi dimana aku berada disana merasakan hembusan angin yang akan menerpa masuk kedalam rongga dadaku. Atau dengan cara menghabiskan hari terakhirku dengan meminum begitu banyak bir dan menikmati hariku sampai malam nanti. Entahlah aku benar – benar belum memutuskan apa yang akan kulakukan untuk terakhir kalinya.

                Kau tau…
Terkadang aku masih tidak mengerti mengapa aku sampai bisa sejatuh ini padamu, entah berapa air mata yang sudah terjatuh karna perasaanku yang benar – benar sangat mencintaimu. Entah apa yang kuharapkan sebenarnya dari sebuah perasaan yang entah sampai kapan akan terus berjalan.
Aku hanya seorang perempuan dengan keahlian merangkai kata yang sering membolos saat kerja, mengabaikan waktuku hanya untuk melihat seorang laki – laki berumur 18 tahun dengan sebuah cerita dinginnya terduduk disebuah taman dimusim hujan.
                Sungguh konyol. Tapi begitu menyenangkan bisa mengenalmu.
Sungguh.

                Kini aku akan sejenak menaruh secercak perasaan itu disebuah novel karya terkahirku ini, terima kasih karna sudah mencoba menggenggam tanganku walau aku tau itu sulit bagimu. Terima kasih untuk setiap rasa gugup dan setiap pompaan jantung yang cepat setiap kali aku bersamamu. Terima kasih untuk setiap kata – kata yang kau ucapkan untuk menenangkanmu. Terima kasih karna membuatku seperti seorang yang sangat kau inginkan.
Tidak ada kata penyesalan untuk sebuah pertemuan yang singkat ini, karna nyatanya kau adalah salah satu kebahagiaan bagiku pada kesempatan terakhirku ini.
**
                Hari bergulir begitu cepat, entah sudah berapa jam aku berutat didepan layar sebuah leptop yang masih menyala. Aku sudah memutuskan apa yang akan aku lakukan untuk menutup kisah ini, mungkin aku akan membuat sebuah kejadian yang sangat menyenangkan dan tak terdug untuk menutupnya.
                Semoga saja itu benar – benar terjadi.
                Sore ini aku benar – benar mantap melangkahkan kakiku untuk pergi kerumah sakit, menyiapkan diriku untuk sebuah keputusan besar yang akan benar – benar mengubah semuanya. Aku benar – benar akan melakukannya. Sepertinya cintaku ini benar – benar sudah membutakanku, membuatku menjadi seorang perempuan yang benar – benar ‘dewasa’.

                Kini lorong dingin yang biasanya enggan untuk aku masuki, kini aku malah akan menetap disini. Mungkin selama seminggu kedepan aku akan sering sekali melintasimu, kuharap kita bisa menjadi teman baik, toh pada akhirnya kaulah yang akan menjadi saksi kepergianku bukan?
                Angin perlahan lembut memasukin jendela yang terbuka luas disamping ranjang dengan sebuah meja kayu berukuran standar berada disebelahnya yang mana sebuah vas kosong terpampang Nampak mencoba menghiasi. Aku masih terbaring diatas ranjang sembari melihat kearah tanganku yang kuangkat keatas.
                “Beginikah rasanya, bila kau mengetahui kapan kau akan mati?
                                                Rasanya  kosong.”
**
                Suara pintu pun terdengar, apa sudah saatnya pemeriksaan?
“Kau?!”
                Mataku membulat tanpa terkejut dan kebingungan, bagaimana bisa dia disini? Seharusnya alur didalam ceritanya tidak seperti ini!
“Kau…Kau tidak memberitahuku kau ada disini?”
                Berjalan memasuki ruangan sembari membawa sebungkus bunga matahari ditangan kanannya.
“Bagaimana kau tau aku ada disini?!”
“Entahlah, sebuah surat datang kerumahmu, dan kau tidak ada disana. Aku membukanya dan… Aku tau kau disini.”
                Jawabnya santai sembari menaruh setangkai buna matahari itu di vas kosong diatas meja, kemudian menyenderkan tubuhnya disamping jendela yang terbuka.
               
                Tunggu! Jadi dia sudah melihat surat dari rumah sakit?!
“Jadi, kau mencoba pergi tanpa berpamitan padaku?”
                Aku menatapnya lamat sebuah tetesan air mata mulai terjatuh, bagaimana dia bisa setenang itu?!
“Ah… Perpisahan memang selalu menyakitkan bukan.”
                Bila ini menyakitkan, mengapa wajahmu bisa setenang itu?!
“Aku tak akan memintamu menghentikannya, aku juga tak akan mengumbar kata – kata manis untuk mengantar kepergianmu karna aku memang tak pandai mengatakannya. Tapi…”
                Mendekatiku, lalu perlahan memelukku.
“Aku akan sangat merindukanmu.”
                Bisiknya, aku masih tidak mengatakan apa – apa. Apa hanya itu?!
Hah… Ternyata kepergianku memang suatu keputusan yang tepat.
                Dia pun melepas pelukannya, lalu tanpa ada sepatah kata pun lagi dari mulutnya dia keluar dari ruangan itu dengan wajah yang sangat dingin. Entah apa kini yang ada dipikirannya.
**
                09;25 AM,
Suasana lorong itu masih sama, tenang dan sunyi dengan beberapa angin yang diam – diam masuk membalut kesendirian. Seorang laki – laki berusia 18 tahun, masih setia terduduk didepan salah satu pintu kamar sedang menatap kosong dengan lutut yang mulai ditariknya keatas mencoba ia peluk. Entah perasaan apa yang benar – benar tepat untuk melukiskan semuanya.
                Tiba – tiba sebuah air mata mulai menetes dari sudut matanya, lama kelamaan semakin deras dan diiringi dengan sebuah isak tangis yang semakin menjadi saat dia mempererat pelukan pada lututnya. Cukup lama ia menangis sampai akhirnya dia mulai mengangkat wajahnya, menyenderkan kepalanya kesebuah pintu yang ada dibelakangnya, tubuhnya terlihat sudah tak berdaya lagi sekarang matanya sembab bekas tangisan yang ia keluarkan. Lalu bibirnya pun mulai terbuka, hendak berkata.
                “Jadi, kau benar – benar akan pergi?”
**
                Kutarik lututku lalu memeluknya erat, ini benar – benar berat!
Mengapa harus aku yang mengalami ini semua?! Apakah aku harus membatalkannya?! Iya mengapa kau tidak membatalkannya saja!
                Aku mulai berpikir gila sekarang, memang apa salahnya bila aku berpikiran egois?! Aku memang menginginkannya dan itulah faktanya mengapa aku harus mengalah sedangkan aku sendiri yang tersakiti?! Aku mulai menyibak selimutku dan menuruni ranjang itu, mencoba mendekati pintu keluar. Tiba – tiba terdengar sebuah isak tangis dari balik pintu itu, apa itu dia?!
                Bodoh!
Apa yang kau pikirkan barusan nami! Kau berpikiran egois tanpa mementingkan hatinya yang sudah sangat lama menginginkan sentuhan perempuan itu! Kau tidak mungkin merenggut itu darinya!
Aku pun terduduk bersender didepan pintu itu, ternyata kau benar – benar menangis untukku. Sebegitu pentingkah aku untukmu? Lalu mengapa kau tidak memintaku untuk menghentikannya?
                Ryou…
**
                Untuk beberapa menit laki – laki itu masih setia terduduk disana, sampai akhirnya dia pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, percuma bila dia tetap diam disana tidak aka nada yang berubah. Dia pun mulai berlari meningglakan lorong itu.
                Tibalah dia disalah satu ruangan berbeda dengan lorong yang tadi, lorong tempat ruangan itu ada tampak lebih ramai dan tida sunyi. Dia pun masuk keruangan tersebut, terlihat seorang laki – laki paruh baya dengan seorang perempuan yang memakai baju berwarna putih sama dengannya berdiri disampingnya seperti mendaminginya yang sedang menulis sesuatu disebuah buku agak tebal.
                “Apa aku mengganggumu?”
Mulutnya mulai terbuka, mendengarnya yang ditanya pun menghentikan kegiatannya lalu melihat kearahnya.
                “Tidak, apa ada yang bisa kubantu?”
Tanyanya, sang laki – laki itu tak menjawab dan malah meneteskan air matanya dengan wajah yang sudah tak berdaya lagi dia mulai berlutut didepan laki – laki paruh baya itu.
                “Tolong selamatkan dia! Kau tau lebih dari aku mengetahuinya bukan, dia tidak pernah sakit selama ini mengapa dia harus menjalani operasi itu yang pada akhirnya hanya akan meninggalkanku?! Kumohon selamatkan dia! Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, tapi aku yakin aku memang benar – benar mencintainya. Tolong aku!”
Tegasnya diselah – selah isak tangisnya, sang laki – laki paruh baya itu pun mulai merasa bingung siapa yang dia maksud itu?
                “Tunggu, siapa yang kau maksud sebenarnya?”
                “Perempuan dikamar no.285, kau dokter yang akan mengoprasinya bukan? Tolong aku! Tolong selamatkan nyawanya! Bisakah kau menggantikan dia dengan orang lain saja?!”
Desaknya sembari mulai berdiri dan memegangi pundak laki – laki paruh baya itu.
                “Aku sudah mencoba membujuknya, itu sepenuhnya kepetusannya aku tidak bisa mengubahnya.”
                “Dia melakukan operasi untuk mendonorkan jantungnya bukan, kalau begitu biarkan aku yang menggantikannya. Biarkan aku yang dimenjalani operasi itu! Kumohon aku benar – benar takut kehilangan perempuan itu. Aku benar – benar mencintainya…”
                “Maafkan aku, tapi aku benar – benar tak bisa melakukan apa – apa. Sebuah operasi bukan hal yang bisa dipermainkan. Kau harus bisa menghadapinya.”
Dadanya mulai terasa sesak, nafasnya kini tak terkontrol entah sebuah teriakan apa yang ingin ia keluarkan kepada laki – laki paruh baya itu tapi memang benar dia tidak bisa melakukan apa – apa, perempuan itulah yang menginginkanya dan dia tidak bisa mengubah itu.
**
                Aku mulai meredakan tangisanku dan berniat keluar untuk menemuinya, kutarik gagang pintu itu lalu bersiap melihatnya.
“Ryou…”
                Sontak aku terdiam, tidak ada apa – apa didepan sana hanya ada sebuah kalung berwarna putih dengan sebuah kepala liontin berbentu bulat tergantung. Kubawa benda itu, lalu kembali memasuki ruangan. Sebuah pepatah memang benar, bahwa.
                Kita memang tidak akan pernah siap dengan sebuah perpisahan.
**
                Ini hari kedua aku dirumah sakit, pemeriksaan untuk hari ini juga sudah aku jalani. Aku pun memutuskan untuk berkeliling, sebuah taman kecil didepan rumah sakit menjadi pilihanku untuk menghabiskan waktuku.
“Aaahh… Aku benar – benar sendirian.”
                Eluhku pelan.
“Sepertinya akan lebih menyenangkan bila kau ada disini, setidaknya hiburlah aku walau itu hanya 10 menit. Aku membutuhkannya.”
                Ucapku mulai terdengar lirih.
**
                Sebuah taman dengan suasana yang sudah tak asing lagi dipandangannya menjadi pilihannya untuk menghabiskan waktunya, sejak 25 menit yang lalu tatapannya masih terlihat kosong melihat kearah danau yang ada disampingnya. Sesekali ingatannya masih sering menghantuinya, ingatan tentang semua kenangan dengan perempuan itu semuanya masih sangat jelas seperti tersimpan rapi disebuah folder yang aman dikepalanya.

                “Kau seharusnya bisa lebih kuat dari ini, kau seharusnya menenangkannya dan berusaha membuat kenangan yang lebih banyak bersamanya karna itulah satu satunya cara agar dia bisa selalu mengingatmu.”           
                Sepotong nasihat dari laki – laki paruh baya itu seketika teringat olehnya.
“Bodoh!
Aku memang tidak seharusnya ada disini, seharusnya aku ada disampingmu menemanimu disana mencoba membuat begitu banyak kenangan agar kau merasa tak sendiri. Aku memang bukan laki – laki yang baik.”
                Penyesalan kembali menyelimutinya, entah sudah sejak kapan ia kembali terisak mengingat semua hal menyedihkan itu. Yang ia tau, semua ini memang benar – benar terasa menyakitkan.
**
                Ini hari ketiga aku dirumah sakit, masih tidak ada yang special disini, hariku masih diawali dengan serangkaian pemeriksaan dan dilanjut dengan hal – hal membosankan lainnya. Hari ketiga ini, kau juga masih tetap tidak mendatangiku, apa kau sudah berppikir bahwa aku sudah mati sekarang?
“Bunganya sudah sedikit kering, mungkin kau harus bersiap – siap menggantinya.”
                Ucapku sembari melihat kearah bunga matahari dengan 3 kelopak yang mulai terjatuh diatas meja.
**
“Sudah hari ketiga rupanya, apa bunga dikamarmu sudah mulai layu?”
                Bibirnya sudah mulai terbuka sejak 30 menit membisu masih ditempat yang sama dan masih memandangi danau yang sama dengan yang kemarin. Terlihat sebuah buku sketsa yang tergelincir keluar dari tas yang terbaring disampingnya.
“Sudah berapa lama kau tidak kusentuh, sepertinya tidak akan ada lagi yang akan penasaran dengan isimu nanti.”
                Dia pun meraih buku itu, lalu mulai membolak – balik halaman melihat semua gambar yang ada didalamnya yang dipenuhi dengan gambar seorang wanita yang sedang terbaring disebuah ruangan. Sampai jarinya pun membuka halaman terakhir yang membuatnya meneteskan air mata.
Sebuah gambar seorang anak laki – laki yang sedang memeluk seorang wanita yang terduduk disebuah kursi kayu, dengan sebuah bayangan seorang perempuan yang sedang memeluk laki – laki itu, tampak menghiasi background gambar sebuah taman dengan danau sebagai pemandangan utamanya.
“Hah…
Bahkan kau tidak pernah bilang kalau kau bisa melakukan ini.”
                Tangisnya kembali tak tertahankan melihat gambar tersebut seakan – akan gambar itu menggambarkan apa yang sedang terjadi sekarang, perempuan itu mencoba menyelamatkan ibunya untuk membuatnya merasa bahagia seperti dulu.
“Apa yang sudah aku lakukan?! Aku benar – benar telah merusakmu. Bagaimana seorang laki – laki yang penuh dengan keegoisan bisa pantas berada disampingmu?!”
**
                Hari keempat.
Kau masih belum datang kemari, seperti biasa aku masih melakukan pemeriksaan dilanjut dengan kegiatan membosankanku selanjutnya. Angin pagi hari masih terus saja masuk kedalam ruangan ini, seperti suster itu lupa untuk menutup jendelanya, aku masih terduduk diranjang ini sembari merebahkan kakiku merasakan setiap angina menggelitik lenganku. Pandanganku masih kosong sejak tadi, tak berhenti melihat kearah jendela yang terbuka.
                Kapan kau akan kemari? Sekarang kau benar – benar harus menggenti bunganya, lihatlah kelopknya sudah jatuh 4 kelopak sekarang.
                Suara pintu pun terdengar. Apa hari ini dia datang?!
“Permisi.”
                Seorang laki – laki berseragam dengan sebuah paket memasuki ruanganku.
Ternyata bukan dia.
“Iya?”
“Apa benar kau nona Shuzuku nami?”
“Iya itu benar.”
“Aku mengantarkan sebuah paket untukmu, ini.”
                Menyodorkan sebuah paket yang tak terlalu besar, terbungkus rapi oleh kertas jagung lengkap dengan seutas tali berwarna merah kusam yang mengikatnya.
“Terima kasih.”
“Kalau begitu aku permisi.”
“Baik.”
“Permisi.”
                Dia pun keluar dari ruanganku, aku pun mulai membuka paket tersebut ternyata itu sebuah buku dengan sampul seorang laki – laki terduduk bersandar disebuah kursi tua dengan tangan yang dilipat didepan dada dan mata yang terpejam.
                Rupanya bukunya sudah jadi yah?
Tak kusangka akhirnya aku benar – benar menyelesaikannya tepat waktu, kuharap aku memiliki kesempatan untuk memberikannya padamu.
**
                Langkahnya terlihat santai menuju sebuah gedung bertingkat, entah apa alasan yang mengubahnya yang pada akhirnya membawa langkahnya untuk menemui perempuan itu. Berbekal setangkai bunga matahari berada ditangannya ia memasuki lorong yang sama, ruangan yang sama. Belum sempat ia menarik gagang pintu itu, langkahnya pun terhenti, tangannya yang membawa setangkai bunga itu kembali ia turunkan kembali
                Dilihatnya perempuan itu olehnya dari sebuah kaca dipintu itu, air matanya kembali terjatuh entah apa lagi sekarang yang ia pikirkan.

“Kupikir aku memang benar – benar tidak siap menemuimu.”
                Dia pun menjatuhkan bunga itu, lalu berlalu pergi kembali dengan rasa penuh penyesalan.
**
“Ini hari kelima, bagaimana kabarmu apa kau baik – baik saja? Apa dokter itu mengurusmu dengan baik disana? Entahlah, sepertinya aku memang tidak pernah sanggup menampakkan wajahku dihadapanmu.”
                Gumamnya didepan setangkai bunga matahari yang digenggamnya, sedari tadi pagi ia masih saja sibuk berkutat dengan setangkai bunga itu membuang waktunya dengan tatapan kosong terduduk ditaman yang sama.

“Kau benar – benar akan pergi?
                Hah…
Konyol.”
                Gumamnya kembali diiringi dengan tetesan air yang keluar dari sudut matanya.
“Tolong beritahu aku bagaimana caranya agar aku bisa menemuimu, sungguh rasa bersalah ini perlahan – lahan benar – benar membunuhku.”
                Dia mulai tertunduk memeluk setangkai bunga itu, air matanya pecah tak tertahankan seakan dia bisa menghabiskannya sekaligus.

                Langkahnya ia putuskan untuk menghampiri perempuan itu, kembali datang dengan setangkai bunga matahari yang tak pernah sampai padanya, selalu terhenti oleh sebuah pintu yang melunturkan semua kekuatannya dan menggantinya dengan puluhan air mata penyesalan.
“Mengapa kau tidak masuk?”
                Tanya seorang laki – laki paruh baya yang menemukannya mematung didepan pintu ruangan itu.
“Bagaimana aku bisa menemuinya dengan segudang perasaan bersalah setiap kali aku melihat wajahnya?”
“Semua akan membaik, temuilah dia sebelum rasa penyesalanmu itu benar – benar membunuhmu.”
“Kurasa rasa itu memang sudah memulai pekerjaannya sekarang. Kuharap dia tidak tau aku disini.”
                Jelasnya sembari memberikan setangkai bunga itu pada laki – laki paruh baya itu, kemudian pergi dari tempat itu dengan air mata yang masih sering menetes.
**
                Ini hari kelima? Tak kurasa hari terasa begitu cepat sekarang.
Suara pintu terdengar akan terbuka, seorang laki – laki paruh baya dengan pangkat seorang dokter memasuki ruanganku.
“Nona nami? Bagaimana keadaanmu?”
                Sebuah senyuman menyungging dari bibirnya, aku pun tersenyum kepadanya seraya menjawab.
“Aku merasa sangat hangat.”
                Mendengarnya, dia pun menyunggingkan kembali senyumnya kepadaku.
“Kau memang selalu tertihat seperti itu.”
                Jawabnya sembari menaruh setangkai bunga matahari mencoba mengganti bunga matahari yang mulai layu. Sontak melihatnya aku langsung tertegun dengan rasa penasaran, apa dia ada disini? Bagaimana dia tau kalau bunga matahari yang kuinginkan untuk menggantikan bunga yang layu sebelumnya?
“Ba-bagaimana kau tau aku menyukainya?”
“Entahlah aku hanya asal memilihnya.”
                Jawabnya enteng.
“Dimana dia?! Kau pasti mendapatkan bunga itu dari dia bukan?! Apa dia ada diluar?!”
                Pekikku melontarkan begitu banyak pertanyaan padanya, yang ditanya malah termenung melihatku seakan sedang mengolah kalimat apa yang harus ia lontarkan kepadaku untuk menjawabnya.
“Tidak mungkin! Dia pasti ada disini!
                Ryouu! Ryouu!”
                Pekikku yang seketika memenuhi seisi ruangan, kemudian kumulai menuruni ranjang yang kududuki senbari memegang setangkai bunga matahari kakiku tertatih mencoba menggapai pintu ruangan yang berada disebelah kanan.
“Ryouu, aku merindukanmu. Apa kau bisa mendengarku?! Mengapa kau tak pernah mengunjungiku?! Aku membutuhkanku…”
                Ucapku sembari terduduk dibawah pintu ruangan itu, sembari meletakkan tanganku pada badan pintu.
“Sudahlah nona, kau hanya berhalunisasi. Dia tidak kemari!”
                Ucap sang “dokter” sembari memegangi tanganku, aku yang ia khawatirkan tetap saja mencoba untuk keluar mencari seorang laki – laki yang memberikan bunga ini. Aku tau aku tak akan mungkin salah! Dia pasti kemari tadi!
“Aku tau kau pasti berbohong! Dia kemari bukan?!”
                Jawabku sembari menjatuhan puluhan air mata yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Ryou… Tolonglah, apa kau tak bisa hanya melihat saja aku menunggumu disini. Hanya tinggal 2 hari lagi aku akan benar – benar pergi. Apa rasa bersalahmu itu lebih besar sehingga begitu kuat menenggelamkan rasa cintamu?!
**
                Dia masih mematung sejak laki – laki paruh baya itu masuk keruangan itu, dilihatnya olehnya dari sebuah kaca diruangan itu nampak perempuan itu menyunggingkan senyumannya.
“Syukurlah kau baik – baik saja.”
                Ucapnya sesaat kemudian ikut tersenyum dari pintu kayu yang menghalangi mereka, kemudian tak lama mulai melangkahkan kakinya pergi.

“Tidak mungkin! Dia pasti ada disini!
                Ryouu! Ryouu!”

                Sebuah teriakan terdengan dari dalam ruangan, seketika langkahnya terhenti dan langsung membalikkan badannya kemudian mendekati pintu dan terduduk dibawahnya.
“Kumohon tenanglah, kau tak harus seperti ini…”
                Ucapnya sembari terduduk menghadap pintu ruangan itu dan meletakkan tangannya dibadan pintu.

“Ryouu, aku merindukanmu. Apa kau bisa mendengarku?! Mengapa kau tak pernah mengunjungiku?! Aku membutuhkanku…”

                Kembali sebuah teriakan terdengar dari pintu disebrang sana, sontak matanya kembali terbulatkan dan kembali basah. Sebegitu merindukah kau?
“Ya, aku bisa mendengarmu aku juga sangat merindukanmu. Maafkan aku, aku benar – benar tak sanggup melangkahkan kakiku untuk kelihatmu. Aku benar – benar tidak bisa.”
                Ucapnya terisak dan dengan rasa penyasalan yang begitu mendalam, dia pun memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Kembali berkitat dengan rasa penyesalan dan bersalah yang akan menemaninya ditaman itu.
**
                Hari keenam.
Vas itu akhirnya kosong, tidak ada setangkai bunga pun yang mengisinya. Awan biru kini sudah siap menyapaku dipagi ini, angin pagi berhembus masuk dari ruang jendela yang terbuka. Aku masih mematungkan diriku menghadap keluar lewat jendela ini, merasakan aroma khas pagi hari ini.
                Ini benar -  benar hari keenam, hari terakhirku yang seharusnya aku habiskan bersamamu. Pergi ketaman tertawa bersama, menikmati ice cream bersama, mendengarkan music romantic sembari memakan permen kapas yang kau beli disudut jalan, atau sekedar menikmati pemandangan langit diatap rumah sakit. Ini memang benar – benar menyakitkan, kau membuatku menutup sisa hidupku hanya dengan segudang angan – angan belaka.

07:00 PM.

                Waktu bergulir begitu lama, sejak selesai makan malam tadi aku masih setia meringkuk diatas ranjang ini.
“Ah… Ini memang benar – benar membosankan.”
                Kuturunkan kakiku, berjalan mendekati pintu ruangan berniat keluar untuk membeli sesuatu.
Kulangkahkan kakiku mendekati sebuah mesin yang menyediakan berbagai macam minuman, kumasukan beberapa uang koin yang berada dikantung bajuku kemudian membeli beberapa bir untuk kunikmati bersama angin malam ini.
                Kunaiki tangga menuju atap rumah sakit, terlihat disana ada sebuah kursi panjang yang kosong. Sungguh tempat yang tepat untuk menikmati pemandangan malam bersama hembusan angin dan beberapa kaleng bir.
                “Hahh…”
**
Malam ini, laki – laki itu kembali mengunjungi tempat itu, kembali membawa bunga matahari itu tetapi kali ini dia membawa dua dan mengunjungi ruangan yang berbeda dengan ruangan gadis itu.
Dia masukinya ruangan itu, ruangan yang penuh dengan alat bantu medis yang terpasang disebuah tubuh yang sedang terbaring kering tak berdaya.

“Kau terlihat sehat bu... Mereka ternyata benar – benar mengurusmu dengan baik, bu... mungkin besok adalah hari yang kau tunggu – tunggu selama ini, hari dimana kau akan mulai kembali tertawa bersamaku bercanda riang denganku, hari dimana kau tidak akan merasakan semua kepedihan dan penderitaan ini kembali.”
                Ucapnya sembari terduduk disebelah sang perempuan paruh baya itu, tangannya yang dingin kini mulai menyentuh tangan hangat perempuan itu.
“Tapi, bagaimana ekspresimu bila tau bila gadis itulah yang telah melakukan ini semua untukmu. Dia benar – benar mengordankan semuanya, dia mengordankan semua kebahagiaannya, mimpinya, masa lalunya, masa depannya, hatinya, dan semua perasaan cintanya padaku agar kau kembali tersenyum bersamaku. Bukankah itu sangat menyedihkan bu?”
                Ucapnya lerih sembari memasukkan setangkai bunga matahari kedalam vas bunga yang ada diatas meja disebelah ranjang itu.
“Lalu bila nanti kau benar – benar sudah kembali tersenyum denganku, lalu bagaimana dengan senyumanku bu?! Bagaimana dengan senyumanku yang ternyata telah pergi bersama dengan gadis itu.”
**
                Kuhabiskan beberapa kaleng bir dari tempat aku berada sekarang.
“Kya!
Kau pernah bilang padaku, bahwa semua akan indah pada waktunya bukan? Tetapi mengapa sampai sekarang hatiku masih saja merasakan perih? Apa aku benar – benar sakit?”
                Ucapku sembari tidur terlentang diatas kursi panjang itu dan menunjuk keatas langit, kurasa bir itu kini benar – benar telah mempengaruhiku.
“Mengapa aku masih merasakan sakit, apa takdirku benar – benar sial?!
Kya! Kenapa kau tak menjawabku?!”
                Pekikku sembari mulai meneteskan beberapa air mata.
“Bagaimana bisa kau biarkan seorang gadis secantik diriku ini tersakiti! Bahkan ketika waktuku benar – benar akan habis, dia masih sempatnya untuk mengukir luka yang baru.”
                Ucapku lirih.
“Aku memang benar – benar sial.”
                Lirihku untuk 30 menit aku terdiam dengan posisi itu, kemudian memutuskan untuk kembali kekamarku setelah efek bir tadi hilang.
                Mungkin memang inilah yang harus kuterima dari semua keputusan besar ini, menghabiskan waktu terahirku dengan angan – angan tentangmu.
**
                15 menit dia didalam ruangan perempuan paruh baya itu, kemudian memilih keluar dan memilih melangkahkan kakinya kembari ke ruangan yang sama seperti sebelumnya, berniat menemui gadis itu hanya untuk sekedar memberikan setangkai bunga ini, lalu menyapanya ‘hai bagaimana kabarmu? Apa kau merindukanmu? Memang terdengar seperti kalimat – kalimat sederhana, tetapi bagaimana bila kalimat sederhana itu disandingkan dengan beribu rasa penyesalan yang ada dalam hatinya?
                Sungguh gadis itu sebenarnya tak usah bertanya lagi mengapa dia tidak menemuinya? Siapa yang menginginkan semua ini terjadi? Dia sungguh tidak menginginkannya, dia pikir ini hanyalah sebuah kisah cinta sederhana dimana seorang laki – laki jatuh cinta dengan seorang gadis sederhana dengan sebuah mimpi bisa bersama selamanya.

                Kali ini langkahnya kembali terhenti didepan pintu itu, kembali terdiam mematung bingung entah apa yang harus ia lakukan. Masuk atau memilih pergi meninggalkannya kembali. Tangannya yang kaku kini telah memegang gagang pintu itu, menatap seorang gadis yang sedang tertidur didalam ruangan itu dari sebuah kaca.
                Sungguh hari ini dia benar – benar harus masuk dan menemuinya, lagi pula dia sedang tertidur dia tidak akan tau kau kemari. Dia beranikan dirinya untuk memasuki ruangan itu, ruangan yang sama sunyinya dengan ruangan perempuan paruh baya itu, tetapi bedanya disini tidak ada alat medis yang tertancap kebadan gadis itu.
Langkahnya kembali ia lanjutkan, mendekati sebuah vas bunga kosong dan kemudian menaruhkan bunga matahari itu kedalamnya. Sejenak pandangannya menatap dalam kearah gadis yang sedang berbaring diranjang itu, air matanya jatuh seketika entah apa kini yang ia rasakan. Dia dekati ranjang sang gadis lalu memilih berbaring bersama dengan gadis itu menaruh kepalanya didekat kepala sang gadis, dan melihatnya lamat.
“Hey… Sekarang aku benar – benar berada disini, bersamamu.”
**
                Terasa sebuah hembusan nafas seseorang yang keluar seperti menggelitik hidungku, mataku yang terpejang mencoba terbuka penasaran.

“Ryou…”
                Mataku membulat sempurna, itu benar – benar dia?! Dia tepat berada dihadapanku.
“Kau merusak bunganya? Aku membawakan yang baru untukmu, kali ini jangan kau rusak kembali ya.”
“Ryou…”
“Kau terlihat cantik, mereka benar – benar mengurusmu dengan baik rupanya.”
                Ucapnya sembari membenarkan anak rambutku yang terjatuh.
“Ryou…”
“Apa kau makan dengan benar disini? Kau tampak sangat segar.”
“Ryou…”
“Apa kau mengganti shampomu? Aku menyukainya.”
“Ryou…”
“Ap---“
“Aku merindukanmu ryou, aku benar – benar merindukanmu! Mengapa kau bisa setenang itu!”
                Ucapku dengan sedikit nada tinggi, sembari memeluknya erat. Sungguh ini benar – benar hadiah yang sangat indah diwaktu terakhirku.
“Maaf.”
“Apa cuma itu yang ingin kau sampaikan kepadaku, apa kau tidak merindukanku?”
“Sudah kubilang tidak semudah itu mengatakannya.”
“Tapi ini adalah permintaan terakhirku, aku ingin kau---“
                Tiba- tiba dia meleas pelukannya kemudian menciumku cukup lama.
“Aku mencintaimu, aku merindukanmu, aku membutuhkanmu. Apa dengan ini semua keputusanmu akan berubah?!”
                Ucapnya tegas, sembari menatapku lamat.
“Bagaimana bisa kau meninggalkanku saat aku benar – benar telah jatuh sejatuh – jatuhnya padamu, aku membutuhkanmu!”
                Lirihnya diiringi dengan tetesan air mata yang keluar dari sudut matanya.
“Maafkan aku… Aku melakukannya karna---“
“Karna kau mencintaiku? Seperti inikah caramu mencintaiku? Dengan meninggalkanku sendiri?!”
                Ucapnya memotong kalimatku sebelumnya.
“Aku hanya ingin melihatmu bisa kembali tersenyum dengannya, kembali menjalani kehidupanmu hanya itu.”
“Aku tidak menyuruhmu melakukannya! Kau tak perlu melakukan ini semua. Kumohon, aku pernah terjatuh dan kehilangan arah dan kau pun datang, lalu sekarang kau akan meninggalkanku begitu saja setelah aku benar – benar tergantung padamu?!”
                Ucapnya kembali sembari megang erat kedua tanganku.
“Kumohon jangan seperti ini, kau pasti bisa menghadapinya. Bila tidak bisa untukku hiduplah untuk ibumu.”
“Aku membutuhkanmu.”
                Lirihnya dengan terisak ia meringkuk disampingku sembari memelukku seperti seorang bayi laki – laki yang haus akan kasih sayang ibunya.

                Sepeninggalan gadis itu, laki – laki itu masih setia termenung didepan ruangan itu.
“Ini untukmu, sepertinya dia yang menulis buku ini untukmu.”
                Sudah sejak tadi pagi matanya tak pernah kering, wajahnya begitu pucat. Sudah berkali – kali ia membaca halaman akhir dari buku tersebut, yang merupakan sebuah kata – kata terakhir sang gadis kepadanya, hanya untuk memastikan apakah dia benar – benar telah ditinggalkan?
“Apa sudah berakhir?”
                Bibirnya yang telah kering kini sedikit terbuka, mencoba bertanya kepada dirinya sendiri. Seolah tak kuasa akan semua peristiwa yang telah terjadi didepannya kakinya mencoba berlari sekencang – kencangnya meninggalkan tempat itu, meninggalkan semuanya semua kenangan buruk yang hanya akan membuatnya tenggelam dalam rasa keterpurukkan begitu dalam.
                Dia terluka.
**
-One years later-
                Sudah 1 tahun semenjak kepergian sang gadis itu, kenangannya masih sering tersisa dikala angin berhembus menerpa taman tua disudut kota Tokyo, udaranya masih sama seperti saat dia ada disana bersama laki – laki itu.
Sudah 3 hari laki –laki itu tak datang mengunjungi taman tua itu, dia berniat untuk menemui sang gadis yang kini berada disebuah rumah tua didaerah kanto.
**
                Angin berhembus pelan membuat anak rambutnya bergoyang sesaat, sudah 3 menit berlalu semenjak ia turun dari kereta yang mengantarnya kemari, beberapa helai pakaian dibawanya dedalam sebuah tas yang ia gendong.
Tak lama ia berjalan akhirnya kakinya terhenti dihadapan sebuah rumah penginapan tua, dan disambut seorang wanita paruh baya dengan senyum lirih menatapnya. Beberapa saat keadaan terasa lengang, kemudian sang wanita patuh baya itu pun mengajaknya masuk dan menuntunnya kesebuah kamar disalah satu lorong yang sunyi.
Sang laki – laki menatap ragu kepada wanita itu lalu hanya dibalas dengan sebuah anggukan mantap oleh sang wanita itu.
                Dimasukinya kamar tersebut, kamar yang rapih dengan tirai yang masih terbuka yang membiarkan angin sore masuk kedalamnya membuat lonceng kayu yang tergantung diatas kayu penyangga berbunyi. Semerbak bau bunga matahari menyeruak dari sebuah vas kecil disudut kamar.
Dia pun mulai melangkahkan kakinya masuk mengambil posisi duduk dihadapan sebuah meja yang dipenuhi dengan beberapa kertas surat, diambilnya salah satu surat tesebut kemudian membukanya dilihatnya surat tersebut olehnya lalu tak lama membacanya nafas berat mulai keluar dari mulutnya tangan kanannya menaruh kembali surat tersebut, tak salah lagi sudah jelas itu surat dari rumah sakit.
               
                Waktu berjalan terasa cepat, kini dia disibukkan dengan sebuah kemeja putih didepannya yang sedang ia setrika, dan sebuah jas hitam tergantung rapih disampingnya. Selesai mengerjakannya ia pun memakai kemeja putih tadi lengkap dengan sebuah dasi hitam yang membelit lehernya.
Setelah rapih denngan pakaiannya, dia pun memilih melihat pemandangan yang mengarah kesebuah bukit lewat jendela yang terbuka sembari memegangi sebuah bir, bersander disebuah tiang penyangga dinding menatap kosong sembari memegangi bir tersebut.

                Tak lama hujan turun tak terduga, tetes demi tetes butiran air hujan mulai jatuh diatas setiap dahan dedaunan yang ada dihalaman penginapan. Dia kini terduduk menghadap sebuah meja, sembari membuka bir tersebut dan menaruhnya dihadapannya, kemudian mengambil jasnya dan keluar dari kamar itu sembari membawa bir yang telah dibukanya tadi dan secarik surat digenggamannya.

Turun dari lantai 2 dan menuju kesebuah lorong panjang dan sunyi, ditemani dengan gemercik air hujan ia berjalan menyusuri lorong panjang tersebut, sampai bertemu disebuah ruangan dengan cahaya diluar sebagai penerangannya.

Terpampang sebuah foto seorang gadis diatas sebuah meja dengan berbalut senyum tipis menghiasi wajahnya, dia pun mulai menaruh kaleng bir itu didekat foto gadis tersebut. Air mata mulai tertetes perlahan dari matanya, mengalir kebawah membasahi pipinya lama kelamaan semakin deras dan tak tertahankan, lututnya mulai melemas taka da sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya selain sebuah isak tangis perpisahan.
Dengan secarik surat digenggamnya ia menangis tersedu berlutut dihadapan foto gadis itu.


“Inilah keputusanku sekarang, meninggalkanmu dengan semua kenangan dan rasa cinta yang teramat. Maafkan aku bila keputusanku ini melukaimu, kuharap kau akan selalu bahagia.
Semoga dikehidupan selanjutnya aku akan bisa lebih lama bersamamu.”
Nami.
-Selesai-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Satu Kaki

Satu kaki Jangan beri alasan bila yang kau tanam hanya seonggok kebohongan. Jangan beri janji bila kau sendiri sadar kau adalah munafik yang handal. Jangan taburkan kesedihan bila kau sendiri tak paham cara tuk memulihkan luka. Sungguh kau memang aktor yang sangat handal dalam mempermainkan peranmu, seakan ingin membuat semua mata bersorak terbelalak akan peranmu, kau pun rela korbankan seonggok hati perempuan tak berdosa yang setiap malam hanya bisa memujamu lewat layar smartphone. Miris melihat ternyata semenjijikan itu tingkahmu, yang lebih parahnya lagi sungguh hinanya diri ini karna tertipu dengan beribu topeng hias yang kau ciptakan, dengan bumbu manis dari setiap lembar tarian lidahmu yang indah. Dulu kau ucap janji tanda sebuah komitmen dibuat, katamu kau tak perduli dengan jarak yang melintang antara kau dan aku, sebuah kepercayaan adalah kunci utama dalam suatu hubungan tuturmu menegaskan. Buaymu membawaku hanyut dalam tiap kalimat janji yang kau eluh -

Blog Pertama!

Hai, Everyone! Ini kali pertamanya gue bikin blog, sebenernya sih cuman iseng - iseng bikin blog, tapi insyaallah nanti gue bakal masukin something yang wajib banget kalian baca. OK! Tunggu peluncurannya yahh. Pertama gue mau kenalin diri gue dulu, nama gue echa eldyana putri, gue seorang anak SMA yang bisa dibilang sedikit gila dan sengklek, jadi kalo loe nilai blog gue ini sedikit gaje, ato gaje banget gue saranin udah ga usah diliat.. Hehehehe *becanda!* Ya udah gitu aja perkenalannya, jadi tungguin post-an gue yang akan datang selanjutnya. Bye..Bye ;)

99%

Akan ada masanya dimana mulutku mulai membisu, dadaku sesak, langkahku mulai tertatih. Bila masa itu datang berjanjilah kau akan selalu ada disisiku, berjanjilah kau akan selalu mendekapku dengan hangat, berjanjilah kau akan siap mendengarkan kata – kata terakhirku walau mungkin kau tidak akan tau apa yang sedang kuucapkan itu. Dalam diam dan keheningan. Aku mencintaimu. -99% (echa eldyana putri)- “Mau pulang bareng?” **                 “Mau pulang bareng?” Inget ga ? Itu kalimat pertama yang kamu ucapin keaku waktu kita ketemu.. Semuanya bener – bener udah berubah ken. “Karin!” “Hey” “Uuuuhh! Liat nibadan, udah liburan lu jadi nambah ceking aja. Eh, tapi bagus deh jadi pas ekskul cherliders nanti biar ga berat digendongnya. wwkwkwk *ketawa*” “Ih! Apaan sih lu nya, Eh tunggu deh ekskul-cherliders? Perasaan gue ga ngerasa ikut ekskul cher deh.” “Iya, emang kagak, gue aja yang iseng masukin lu ke ekskul cher...*nyengir*” “Ih! Kanyaaaa!!” ~~